A. Pendahuluan
Filsafat pendidikan merupakan
aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan
filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan
pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas,
lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun
fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains
pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana
pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami
dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan
senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu
maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu
dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai
tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup
bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para
pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola
proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan
menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Suatu usaha untuk mengatasi
persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan
filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan
pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan
karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan
(wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian
(inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Filsafat pendidikan
memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari
filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat.
Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat.
Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya
tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu
sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin
unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi. Filsafat
secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan
dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam
filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2)
pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan
menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara
tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya.
Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang
membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai
konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna
membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya. Analisis konseptual akan
mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat
secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan
konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang
berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab
manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam
kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik
tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual
tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral
terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada
filsafat moral.
Terdapat tiga persoalan umum yang
disebut filsafat.
(1) Metafisika (Metaphysics)
Istilah lebih generik adalah
“ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan
metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada
konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably).
Metafisika bisa diartikan sebagai
the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik
mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana
namun serba mencakup.
Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan
rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists),
dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi
realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak.
Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas
atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme,
(2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni
hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality)
terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas
bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat
material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3)
Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4)
Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan
realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada
keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa
dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.
(2) Aksiologi
(Axiology)
Secara historis, istilah yang
lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa
ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog
filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan
suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu
baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan
seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau
konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah
aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan
konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar
aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari
pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak
bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat
pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua
berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory
of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan
mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau
absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu
eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi
karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis
sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas
dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif,
ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras
dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of
value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan
murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari
penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan
sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana
fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan
dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang
menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory
of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan
kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis
mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau
ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum
hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan)
manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of
value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status
kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika
bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau
tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa
diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting
dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological
tragicomedy.
(3) Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory of knowledge atau teori
pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan
pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para
pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do
you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita
tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai
mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat
ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu
diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who
knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know).
Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan
pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga
posisi epistemologis:
Pertama,
dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar
mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are
certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa
pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak
tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan
keseluruhan > bagian.
Kedua,
skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga
dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan
seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan
bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang
self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah
menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini
menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah
mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini
hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan
puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang
dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang
mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah
“doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan
posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak
pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa
berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu
bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan
bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini
mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang
dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan
pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat
mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa
pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil
dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan
nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah
analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya
rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran.
Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap
laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu
sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah
bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa
menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita
meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada
kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth
living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari
keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern,
pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa
pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat
relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah
bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria
pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini
kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang
penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut
bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan
perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep
pendidikan:
(1) Pendidikan
sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga
atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan
manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri
setiap anak.
(2) Pendidikan sebagai akuisisi
(education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai
upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap)
informasi dari lingkungannya.
(3) Pendidikan sebagai transaksi
(education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang
“berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk
membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan
materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses
memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di
sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk
memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana
pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya
rekonstruksi manusia dan lingkungannya.
Filsafat dan pendidikan berjalan
bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah
alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka
adalah proses dan juga produk.
(1) Filsafat sebagi proses (philosophy
as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity
of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the
analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian
asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the
evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c)
spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar
yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk
meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau
tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu
membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
(2) Filsafat sebagai produk (philosophy
as product)
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman
(understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang
semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat
dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P”
capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten
dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu
jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.
B. Permasalahan
Bagaimana peranan
filsafat pendidikan bagi guru? Apa yang menentukan filsafat pendidikan seorang
guru?
Filsafat pendidikan pada dasarnya
menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat,
yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai
mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme,
dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat,
sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun
kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat
itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu.
a. Filsafat pendidikan
“progresif”
Didukung oleh filsafat
pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “
Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme,
realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme
religius.
C.
Pembahasan
Filsafat-filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.
Berikut aliran-aliran
dalam filsafat pendidikan:
1.
Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi,
bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti
dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah,
seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak
berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato,
Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
2.
Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia
fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius,
Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart
Mill.
3.
Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi,
bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
4.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun
sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa
manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut
filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey,
Heracleitos.
5.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.
Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap
skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran
ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl
Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6.
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran
filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan
perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa
pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang.
Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : George
Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C.
Neff
7. Filsafat Pendidikan esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat
pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada
trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di
antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas
Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8.
Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir
pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa
ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam
kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha
untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah:
Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
9.
Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari
gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa
kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count
dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George
Count, Harold Rugg.
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1. Metafisika
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
1. Metafisika
Metafisika merupakan bagian
filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia,
termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi
persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya,
maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang
ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan
pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia
dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
Hakekat manusia:
Ø
Manusia adalah makhluk jasmani rohaniü
Ø Manusia adalah makhluk individual sosialü
Ø
Manusia adalah makhluk yang bebasü
Ø Manusia adalah makhluk menyejarahü
2. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang
berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar?
Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita
mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang
berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari
situasi satu kesituasi lainnya? Dasn akhirnya pengetahuan apakah yang paling
berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan
epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan
kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai
muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat
untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui,
setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan
masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan,
empirisme, nalar, dan intuisi.
Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas
nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan
pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi
dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak
langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan
sosial.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan. Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan. Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan. Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan. Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
1.
Keyakinan mengenai
pengajaran dan pembelajaran
Komponen penting filsafat
pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran,
dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran
sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu
seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan
siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan
dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi
siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
2.
Keyakinan mengenai siswa
Akan berpengaruh besar pada
bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada
pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan
hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan
kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan
mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan
tumbuh.
3.
Keyakinan mengenai
pengetahuan
Berkaitan dengan bagaimana guru
melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang
pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek
atau fakta yang terpisah.
4.
Keyakinan mengenai apa
yang perlu diketahui
Guru menginginkan para siswanya
belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda
dalam meyakini apa yang harus diajarkan.
D. PENUTUP
Peran filsafat pendidikan bagi
guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya
anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui
tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus
diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana
cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami
yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga
kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.
Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Ø
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New
York.
Ø
Sadulloh, U.
2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Ø
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan
dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.
Ø
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. PT Bayu
Indra Grafika, Yogyakarta.
Ø
P.H. Hirst &
R.S. Peters. The Logic of Education. London: Routledge & Kegan
Paul, 1972.
Ø Charles J. Braunes & Hobert W. Burns. Problems
in Education and Philosophy. New York: Prentice-Hall Inc., 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar