Manusia dan Lingkungannya
Manusia hidup dalam suatu ruang dengan berbagai situasi
dan kondisi. Dalam kehidupannya, manusia akan berinteraksi dengan segala hal
yang ada dalam ruang disekitarnya tersebut. Segala hal yang ada disekitarnya
beserta segala interaksinya membentuk sistem hubungan timbal balik yang
sinergis yang disebut lingkungan.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 32
tahun 2009 menjelaskan bahwa lingkungan merupakan kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Dalam pengertian lain lingkungan diartikan sebagai habitat
biotik dan kondisi fisikalnya yang ada disekitar kita yang dapat diindera (Henry
dan Heinke, 1996).
Kualitas
lingkungan memberikan pengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Kondisi
lingkungan merupakan kunci bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia dalam
berbagai aktifitasnya (Skidmore, 2002). Dengan kata lain,
penurunan kualitas lingkungan akan menurunkan kualitas kehidupan manusia.
Ketika kualitas lingkungan dijadikan dasar sebagai kunci bagi peningkatan
kualitas hidup manusia, maka pemahaman mengenai lingkungan diperluas kaitannya
pada berbagai macam aktivitas dalam aspek budaya, sosial dan ekonomi (Henry dan
Heinke, 1996).
Pertambahan jumlah penduduk mendorong bertambahnya
variasi usaha dan pergerakan manusia dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas
hidup. Dalam usaha tersebut manusia dengan segala akal dan budinya melakukan
pengubahan kondisi lingkungan yang disesuaikan dengan keinginannya. Perubahan
yang terjadi pada satu unsur lingkungan akan memberikan dampak pada berbagai
unsur lingkungan lainnya (Samant dan Subramanyan, 1998; Kusimi, 2008; Griscom
et al., 2009). Perubahan pada salah satu unsur lingkungan dapat menimbulkan
permasalahan lingkungan itu sendiri. Permasalahan lingkungan memiliki tiga
gatra pokok yaitu pencemaran, usikan terhadap neraca ekologi, dan pengurasan
(eksploitasi) sumberdaya alam (Tedjoyuwono, 2006). Ketiga masalah pokok
tersebut bermula dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia secara berlebihan
dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya. Pencemaran terhadap lingkungan
muncul akibat pembuangan sisa aktivitas kehidupan yang dilakukan dalam berbagai
skala. Pencemaran dapat terjadi pada air, tanah dan udara. Usikan terhadap
neraca ekologi bermula ketika manusia mulai mencoba mengubah kondisi lingkungan
agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh manusia. Bermula dari hal
tersebut, muncul ketidakseimbangan neraca ekologis karena eksploitasi yang
berlebih terhadap sumberdaya lingkungan.
Permasalahan lingkungan terkait dengan masalah-masalah
sistem lahan, air dan udara. Keterkaitan sistem lahan, air dan udara akan
semakin kompleks sejalan dengan tingkat kompleksitas aktivitas manusia pada
lingkungannya. Dampak pada lingkungan yang ditimbulkan oleh sistem industri
lebih bersifat komplek dari pada dampak yang ditimbulkan oleh suatu sistem
pertanian tradisional.
Sistem pertanian tradisional menggunakan hewan ternak
sehingga tidak menghasilkan pencemar kimiawi yang berbahaya. Limbah aktifitas
pertanian tradisional seperti daun, batang, dan lainnya lebih mudah terurai
oleh biota pengurai dalam tanah. Oleh karena itulah sistem pertanian
tradisional cenderung menghasilkan dampak yang lebih sederhana terhadap kondisi
lingkungan.
Aktifitas pembuangan gas hasil industrialisasi dan
transportasi menghasilkan akumulasi polusi udara. Akumulasi gas buang seperti
CO2, N2O, dan lain-lain di atmosfer, selalu terjadi peningkatan dari tahun ke
tahun. Penilaian terhadap kondisi lingkungan membutuhkan berbagai
data yang memiliki makna terhadap penentuan lokasi geografis dari berbagai
sumberdaya lahan (Reed et al., 2002). Sebagai misal, dalam penilaian terhadap kualitas
lahan dibutuhkan informasi seperti kemiringan lahan, luas lahan, kandungan
biomasa, dan lain-lain. Selain itu, dalam analisis lingkungan diperlukan alat
yang memiliki kemampuan untuk observasi, pengukuran dan analisis, pemetaan,
monitoring antar waktu dan tempat, dan dapat membantu dalam pengambilan
keputusan (Horning et al., 2010).
Berdasar pada alasan tersebut, penginderaan jauh
merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengkaji kondisi
lingkungan baik secara multi waktu maupun multi tempat. Analisis kualitas
lingkungan pada saat ini tidak hanya mencakup segala sesuatu yang dapat
”diraba” secara langsung oleh sensor penginderaan jauh seperti kualitas udara
(Dinoi et.al, 2010) kualitas lahan (Forte et al., 2006), dan kualitas air permukaan (Korosov et al.
2009; Gitelson et al, 2011), namun juga berkembang pada objek yang tidak secara
langsung dapat ”diraba” oleh sensor seperti keberadaan air bawah tanah atau air
dalam wilayah karst (Javed and Wani, 2009).
B. Aplikasi Penginderaan
Jauh untuk penilaian kondisi lingkungan
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan
informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan
obyek tersebut (Rees, 2001; Elachi, 2006). Informasi diperoleh dengan cara
deteksi dan pengukuran berbagai perubahan yang terdapat pada lahan dimana obyek
berada. Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman energi
yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan
informasi tersebut. Informasi secara potensial tertangkap pada suatu ketinggian
melalui energi yang terbangun dari permukaan bumi, yang secara detil didapatkan
dari variasi-variasi spasial, spektral dan temporal lahan tersebut (Landgrebe,
2003). Kemampuan teknologi penginderaan jauh dalam perolehan informasi yang
luas tanpa persinggungan langsung dengan obyeknya banyak dimanfaatkan dalam
berbagai hal yang bersifat spasial. Hingga saat ini penginderaan jauh telah
diaplikasikan untuk keperluan pengelolaan lingkungan, ekologi, degradasi lahan,
bencana alam, hingga perubahan iklim (Horning et al, 2010; Roder, 2009).
Data penginderaan jauh memberikan informasi kondisi
permukaan bumi. Informasi permukaan bumi yang dapat dengan mudah diperoleh
adalah informasi tentang penutup dan penggunaan lahan. Informasi tentang
penutup lahan dan penggunaan lahan sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan
penilaian kondisi lingkungan. Perubahan kondisi penutup lahan dalam skala yang
luas merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan iklim global
(Mayaux et al. 2008).
B.1. Aplikasi dalam penilaian kualitas udara
Kualitas udara dapat dinilai salah satunya
dari kandungan material partikel yang ada diudara tersebut. Dalam
penelitiannya, Dinoi et al. (2010), memanfaatkan saluran Aerosol Optical
Thicknesess (AOTs) dari citra MODIS baik Terra maupun Aqua. Saluran AOTs
berkisar pada 550nm yang peka terhadap hamburan partikel di atmosfer. Dari
penelitiannya tersebut, Dinoi et al., menemukan korelasi empiris antara nilai
AOTs dari citra MODIS dengan nilai kandungan material partikel di atmosfer
hasil pengukuran di lapangan sebagai berikut :
Material Partikel (µg/m3) = 25(µg/m3)
+ 65(µg/m3) x AOTs
Penelitian lain untuk penilaian kualitas
udara dilakukan oleh Wong dan Nichol (2011). Wong dan Nichol juga menggunakan panjang
gelombang 550nm yaitu pada saluran AOTs MODIS dan menambahkan
parameter-parameter : sudut zenit matahari, sudut zenit satelit, pantulan
hamburan reyleigh, panjang transmisi matahari dengan bumi, pantulan permukaan,
dan pantulan hemisfer.
B.2. Aplikasi dalam penilaian kualitas
lahan
Kualitas lahan sering dicirikan dari kondisi
penutup lahannya. Algoritma yang sering digunakan dalam analisis penutup lahan
vegetasi adalah dengan menggunakan indeks vegetasi. Indeks Vegetasi adalah
pengukuran optis tingkat kehijauan (greenness)
kanopi vegetasi, sifat komposit dari klorofil daun, luas daun, struktur dan
tutupan kanopi vegetasi (Huete dan Glenn, 2011). Indeks vegetasi telah banyak
digunakan dalam berbagai penelitian tentang vegetasi skala global. Indeks Vegetasi
dapat secara efektif digunakan untuk pemetaan kekeringan, penggurunan
(desertifikasi) dan penggundulan hutan (Horning et al, 2010).
Penelitian lain dilakukan oleh Forte et al
(2006), menilai kerentanan lahan terhadap kejadian banjir pada graben Supersano-Ruffano-Nociglia.
Penilaian dilakukan dengan memperhatikan kenampakan morfo-struktural dari
foto udara. Penilaian morfo-struktural diturunkan dari data DTM dan dibantu
dengan GIS sebagai alat analisis. Metode utama yang digunakan adalah dengan
menggunakan model Hazus Flood Model. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
pemanfaatan model Hazus Flood Model dapat memberikan hasil yang baik untuk
penilaian tingkat kerentanan terhadap banjir, terutama di graben
Supersano-Ruffano-Nociglia.
B.3. Aplikasi dalam penilaian kualitas air
Penilaian kualitas air dapat dilakukan dengan menilai
kesehatan ekologis air tersebut. Phytoplankton merupakan renik sumber makanan
dapat dijadikan sebagai penciri kesehatan ekologis air. Keberadaan
phytoplankton merupakan kunci rantai kehidupan ekologis air.
Gitelson et al (2011), memanfaatkan keberadaan
phytoplankton tersebut sebagai penciri dari kualitas air. Phytoplankton terdiri
dari unsur mayoritas berupa chlorophil-a. Chlorophil-a ini memiliki sifat yang
memantulkan, menyerap dan memendarkan suatu gelombang elektromagnetik. Menurut
Gitelson et al (2011), terdapat tiga rentangan panjang gelombang yang penting
untuk menilai keberadaan chlorophil-a yaitu :
-
Rentang
serapan (absoption)
yaitu di sekitar 670 nm
-
Rentang
pendaran (flourescence)
yaitu di sekitar 685 nm
-
Rentang
puncak pantulan (reflectance)
yaitu pada 700 nm
Algoritma yang diusulkan untuk mendapatkan nilai
kandungan chlorophil-a tersebut adalah sebagai berikut :
CHL-a = [(rband7)-1
– (rband9)-1]
x (rband10) untuk citra MERIS NIR-Red 3 saluran
CHL-a = (rband7)-1
x (rband9) untuk citra
MERIS NIR-Red 2 saluran
CHL-a = (rband13)-1
x (rband15) untuk
citra MODIS
CHL-a = (rband6)-1
x (rband7) untuk citra
SeaWIFS
Dari hasil
uji coba yang dilakukan menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi antara nilai
CHL-a hasil pengukuran dari berbagai citra tersebut dengan hasil pengukuran
chlorophyl-a di lapangan dan laboratorium dengan nilai R2 antara
0.94 hingga 0.99.
B.4.
Aplikasi dalam pendugaan air bawah tanah
Aplikasi
penginderaan jauh untuk pendugaan air bawah tanah baik kuantitas ataupun
kualitas telah banyak dilakukan. Salah satu penelitian tentang air bawah tanah
dengan penginderan jauh dilakukan oleh Solomon dan Quiel (2006). Solomon dan
Quiel memanfaatkan data Citra Landsat dan DTM untuk menduga keberadaan air
bawah tanah pada daerah karst. Dari data penginderaan jauh tersebut diturunkan
parameter-parameter penduga keberadaan air bawah tanah, diantaranya : kondisi
litologi, patahan, geomorfologi, dan slope lereng. Hasil analisis diuji dengan
metode pumping test dilapangan. Dari hasil pengujian tersebut, metode
yang digunakan oleh Solomon dan Quiel dapat digunakan dengan baik dalam
pendugaan keberadaan atau potensi air bawah tanah di daerah karst.
C. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penginderaan jauh dapat
digunakan untuk mengkaji atau menilai kondisi lingkungan. Unsur lingkungan
seperti udara, air, dan lahan serta berbagai unsur biotik yang ada dalam
lingkungan tersebut memiliki penciri-penciri tertentu yang dapat digunakan
untuk penilaian berbagai unsur lingkungan tersebut. Pola interaksi penciri
unsur lingkungan dengan panjang gelombang merupakan kunci pengenalan dan
penilaian yang penting. Dengan demikian untuk dapat mengaplikasikan
penginderaan jauh dalam penilaian lingkungan, terlebih dahulu peneliti harus
memahami penciri beserta sifat atau karakteristiknya.
Karakteristik yang harus dikenali dari penciri unsur
lingkungan tersebut berupa karakteristik kuantitatif dan karakteristik
kualitatif. Karakteristik kuantitatif berupa sifat yang ditunjukkan dalam
interaksinya terhadap panjang gelombang, seperti digunakan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Dinoi (2010), Wong dan Nichol (2011), serta Gitelson (2011).
Karakteristik kualitatif berupa berbagai pola, struktur, tekstur, kerapatan,
panjang , bentuk dan lain-lain seperti digunakan dalam penelitian Solomon dan
Quiel (2006).
Referensi
Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, 2012. Perubahan Iklim
dan Dampaknya di Indonesia. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/
Informasi_Perubahan_Iklim.bmkg
Dinoi A., Perrone M.R., Burlizzi, P., 2010. Application of Modis for Air Quality Studies
Over Southeastern Italy. Remote
Sensing. 2. 1767-1796.
Elachi, C., Zyl, V.J. 2006. Introduction to the Physic and Techniques of
Remote Sensing. John Willey & Sons Inc.. New Jersey.
Forte F., Strobl, R. G., Penneta, I. 2006. A
methodology using GIS, Aerial photos and remote sensing for loss estimation and
flood vulnerability analysis in the Supersano-Ruffano-Nociglia Graben, Southern
Italy. Environ Geol. 50. 501-594.
Gitelson, A.A., Gurlin, D., Moses, W.J.,
Yacobi, Y.Z., 2011. Remote
estimation of chlorophyll-a concentration in Inland, estuarine, and coastal
waters. Advance in Environmental Remote Sensing. 439-468.
Griscom, H.R., Miller, S.N., Ababio, T.G.,
Sivanpillal, R., 2010. Mapping
land cover change of the Luvuvhu catcment South Africa for environment
modelling. GeoJournal. 75. 163-173.
Henry, J.G., Heinke, G.W., 1996. Environmental Science and Engineering.
Second Edition. Pren tice-Hall International Inc. New Jersey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar