Indonesia mendambakan insan–insan
(sumber daya manusia) yang berkualitas yakni insan–insan yang berperilaku
bertaqwa ilahiah, berilmu amaliah, beramal ilmiah dan berteknologi basyariah.
Insan– insan itu harus dihadirkan tanpa reserve agar mampu berperan dalam
persaingan global yang ketat.
Kalau kita berbicara tentang
kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting
dalam proses peningkatan kualita tersebut.
Peningkatan kualitas sumber
daya manusia merupakan suatu proses yang tidak bisa dipisahkan dengan proses peningkatkan
kualitas (mutu) pendidikan tersebut. Namun pendidikan nasional kita baik
sekolah negeri maupun swasta memiliki sejumlah masalah, salah satunya adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Umaidi (1999 : 2) mengatakan salah satu indikator rendahnya mutu tersebut adalah
NEM siswa untuk berbagai bidang studi
pada jenjang sekolah dasar dan menengah yang tidak menunjukkan kenaikan yang
berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun antara 4–5, kecuali pada beberapa
sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Menurut Depdiknas (2001:1–2)
hal tersebut ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami
peningkatan. Pertama, program pembangunan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan educational production function atau input–output
analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Educational
prooduction function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan
kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat
menentukan out pendidikan. Sehingga mengakibatkan berapa banyak input
pendidikan yang tak terman-faatkan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional
dilakukan dan diatur secara birokratik–sentralistik (makro oriented). Hal ini
mengakibatkan sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk perbaikan mutu pendidikan yang
merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peranserta masyarakat, khususnya orang tua
siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Hal ini
mengakibatkan timbulnya persepsi bahwa penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu tidak mengherankan apabila
partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat kewajiban
untuk mendukung input pendidikan tertentu (dana), bukan proses pendidikan
(pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabitas).
Seiring dengan reformasi
pendidikan yang diilhami oleh Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000,
Pemerintah memberikan kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan di semua
jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta dengan pendekatan peningkatan
mutu pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat.
Salah satu potensi bagi
pemerintah adalah mengembangkan pendidikan yang telah dikelola oleh
persyarikatan Muhammadiyah, yang telah
lama dikelola secara otonomi atau berbasis sekolah dan masyarakat.
Akan tetapi, implementasinya di
sekolah–sekolah yang dikelola persyarikatan Muhammadiyah masih belum berjalan
sesuai dengan yang dikehendaki sebagaimana essensi school–based management yakni
otonomi sekolah + pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran
mutu sekolah.
Praktek school–based
management yang sesungguhnya (sesuai dengan konsep) perlu
diimple-mentasikan pada semua sekolah, khususnya sekolah–sekolah yang dikelola
persyarikatan Muhammadiyah.
Yang menjadi persoalan di
antaranya belum diketahui bagaimana keterbukaan manajemen sekolah yang
menyangkut program dan dana, bagaimana iklim kerjasama antara
sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan
persyarikatan, bagaimana kemandirian ditetapkan dalam perencanaan (program)
MPMBS, dan bagaimana dampak MPMBS terhadap sekolah pada Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
Penelitian perlu segera
diadakan untuk menjawab semua permasalahan di atas. Terjawabnya permasalahan
tersebut akan sangat membantu pengembangan dan peningkatan kualitas manajemen
yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan
khususnya sekolah–sekolah yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah. Pada
gilirannya, sekolah–sekolah yang dikelola oleh persyarikatan akan memberikan
kepuasan pada semua stakeholder.
A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan survei pendahuluan
dari penelitian ini diperoleh banyak informasi tentang masalah yang terjadi di
dalam pengimplementasi MPMBS pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Diantara
masalah tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Belum diketahui pengimplementasian School
Review (evaluasi diri), Bench-marking (penentuan target sekolah),
dan Quality Control (pengendalian mutu).
2. Belum diketahui keterbukaan manajemen
sekolah, baik di segi dana maupun program.
3. Belum diketahui iklim kerjasama antara sesama
komunitas sekolah, komunitas sekolah dengan masyarakat/persyarikatan.
4. Belum diketahui bentuk partisipasi
stakeholder dalam pengimplementasi MPMBS.
5. Belum diketahui efektifitas partisipasi dewan
sekolah/majelis dikdasmen PCM/PDM dalam penggalian dana sekolah.
6. Belum diketahui kemandirian sekolah.
7.
Belum
diketahui ketercapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan MPMBS.
8.
Belum
diketahui berbagai kendala yang ditemui sekolah dalam pengimplementasian MPMBS.
9.
Belum
diketahui berbagai upaya yang telah dilaksanakan untuk menanggulangi kendala
yang ditemui sekolah dalam pengimplementasian MPMBS.
10.
Belum
diketahui dampak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) terhadap
sekolah.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada lingkup
implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiya di Kota Yogyakarta. Fokus yang akan diungkap
meliputi ;
1.
Keterbukaan manajemen sekolah, baik untuk program maupun
untuk dana.
2. Iklim kerjasama antara sesama komunitas
sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan persyarikatan
Muhammadiyah (PCM/PDM).
3. Kemandirian sekolah.
4. Ketercapaian sasaran yang telah ditetapkan
dalam perencanaan (program) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS).
5. Dampak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS) terhadap sekolah.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan dan identifikasi masalah,
dipilih dan disusun rumusan masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana keterbukaan manajemen sekolah, baik
untuk program maupun untuk dana pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
2. Bagaimana iklim kerjasama antara sesama
komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan
persyarikatan Muhammadiyah pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
3. Bagaimana kemandirian sekolah pada SLTP
Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
4. Seberapa jauh sasaran yang telah ditetapkan
dalam perencanaan (program) MPMBS pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta dapatt
tercapai ?
5. Bagaimana dampak MPMBS terhadap sekolah pada
SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Ingin mengetahui gambaran nyata tentang
keterbukaan manajemen sekolah, baik untuk program maupun untuk dana pada SLTP
Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
2. Ingin mengetahui gambaran nyata tentang iklim
kerjasama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan
masyarakat dan persyarikatan Muhammadiyah pada SLTP Muhammadiyah Kota
Yogyakarta.
3. Ingin mengetahui gambaran nyata kemandirian
SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
4. Ingin mengetahui seberapa jauh ketercapaian
sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan (program) MPMBS pada SLTP
Muhammadiyah Kota Yogyakarta?
5. Ingin mengetahui dampak MPMBS terhadap SLTP
Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi pengembangan manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah khususnya pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah
Kota Yogyakarta dan pada umumnya semua institusi pendidikan di Indonesia baik
yang bersifat teoritas maupun praktis.
Manfaat teoritis; hasil
penelitian ini diharapkan menambah bahan
kajian khususnya mengenai implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang dikelola Persyarikatan
Muhammadiyah, dan seluruh institusi pendidikan pada umumnya.
Manfaat praktis; sebagai
masukan atau informasi bagi stakeholder dalam mengimplementasikan manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah di SLTP dan seluruh jenjang institusi
pendidikan, khususnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah Kota
Yogyakarta.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
1. Dasar dan Konsep Manajemen Pendidikan Mutu
Berbasis Sekolah
Sejarah telah mencatat perkembangan perguruan
di Indonesia, khususnya perguruan agama Islam. Ketika para pedagang Muslim dari
Gujarat mengembara sampai ke tanah air ini, mereka menjumpai pendopo–pendopo
(lembaga pendidikan tradisional) yang didirikan oleh masyarakat. pada pendopo
itu mereka mengajarkan agama Hindu. Kemudian setelah agama Islam tersebar keseluruh nusantara, lembaga
itu tidak dirubah dan tetap dipertahankan, hanya dimodifikasi, semula di sana
diajarkan muatan agama Hindu, kini dirubah diajarkan muatan agama Islam, yang
dikenal sekarang istilah Pondok Pesantren. Pondok pesantren berkembang sesuai
dengan tuntutan jaman melalui pembaharuan dan inovasi menjadi madrasah atau
sekolah pribumi dan berkembang keduanya secara ganda atau berdampingan.
Pondok pesantren dan madrasah
berkembang secara profesional dengan dukungan peran serta masyarakat. Watak
kemandirian, keikhlasan pengabdian, dan kesetiakawanan merupakan ciri budaya
madrasah dan pondok pesantren. Pada esensinya watak ini telah mengkristal
secara intensif melalui sosialisasi dari lingkaran budaya spiritual antara kyai–santri–pondok–masjid.
Masjid merupakan lambang kemasyara-katan.
Hal ini menunjukkan bahwa telah
lama ada istilah community based management atau school based
management atau site based management dalam pendidikan kita di
Indonesia, dengan kata lain telah lama ada sekolah–sekolah yang dikelola oleh
kalangan swasta. Baik yang dikelola oleh Yayasan maupun yang dikelola oleh
organisasi. Data membuktikan, khususnya sekolah berciri khas agama Islam di
Indonesia terdapat MI 24.979 buah yang 24.370 buah atau 97,6% adalah swasta,
MTs 8.001 buh yang 7.499 buah atau 92,8% adalah swasta, dan MA 2.928 buah yang
2.573 buah atau 88% adalah swasta serta pondok pesantren 8.986 buah yang
seluruhnya swasta (Abdul
Rachman Shaleh:2001:3).
Ada beberapa faktor yang
menjadi alasan, kenapa sistem manajemen pendidikan berbasis sekolah di
Indonesia baik sekolah negeri maupun swasta merupakan suatu keharusan untuk
diterapkan dalam penyelenggaraannya. Depdiknas (2001:5) menyebutkan-nya yaitu
sekolah sebagai institusi pendidikan lebih mengetahui kelebihan, kelemahan,
peluang dan ancaman bagi dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan institusinya.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan
institusinya khususnya input pendidikan yang
akan dikembangkan dan didayakan dalam proses pendidikan sesuai dengan
kebutuhan institusi dan tingkat perkembangan anak didiknya.
Pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh sekolah sebagai institusi akan lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan institusi karena mereka yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi
institusinya.
Keterlibatan komunitas sekolah
dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan
demokrasi yang sehat. Dan sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu
pendidikan masing–masing kepada orang tua, persyarikatan dan pemerintah,
sehingga mereka mencurahkan kemampuannya semaksimal mungkin bekerja untuk
mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan dan disepakati
sebelumnya.
Sekolah cepat tanggap dalam
merespon aspirasi stakeholder dan lingkungan yang senantiasa berubah, serta
dapat bersaing dengan ketat dan sehat dengan sekolah–sekolah lain untuk
meningkatkn mutu pendidikan melalui upaya–upaya inovatif dengan dukungan orang
tua peserta didik, persyarikatan, dan pemerintah daerah setempat.
Konsep Manajemen Pendidikan
Mutu Berbasis Sekolah didefinisikan beragam oleh para ahli pendidikan.
Surakhmad (2000:4) mengatakan pendidikan yang berbasis masyarakat adalah usaha
untuk menumbuhkan pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar di masyarakat,
berasal dari inisiatif masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan untuk
kepentingan masyarakat.
Malen, Ogawa, dan Kranz dalam
Albers Mohrman (1994:56) menyebutkan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah
sebagai suatu bentuk desentralisasi yang memandang sekolah sebagai suatu unit
dasar pengembangan dan bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan
keputusan.
Selanjutnya, Allan Dornself
(1996:2) menggunakan istilah site–Based Management sebagai padanan
istilah School Based Management. Menurutnya, manajemen berbasis sekolah
adalah sejumlah praktisi disebuah lembaga sekolah, mereka terlibat dalam
partisipasi dalam membuat berbagai kebijakan dan keputusan untuk kepentingan lembaga
tersebut.
Slamet PH (2000:4) mengemukakan
bahwa manajemen berbasis sekolah sebagai pengkordinasian dan penyelerasan
sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui
sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok stakeholder dalam
pengambilan keputusan yang partisipatif. Kelompok stakeholder meliputi
kepala sekolah dan wakil–wakilnya guru, siswa, konselor, tenaga administratif,
orang tua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintah dan wakil organisasi pendidikan.
Sementara itu, Suharsimi
Arikunto (1999:51) menyatakan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah penataan
sistem pendidikan yang memberikan keleluasaan penuh kepada kepala sekola (dan
atas kesepakatan seluruh stafnya) untuk memanfaatkan sumber belajar dan semua
fasilitas yang tersedia untuk menyelenggarakan pendidikan bagi siswa, serta
bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya itu. Lanjutnya, dalam manajemen
berbasis sekolah, wilayah sekolah bukan hanya terbatas sampai pagar sekolah
dengan anggota keluarga yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa dan staf
administrasi saja, tetapi meluas sampai lingkungan masyarakat setempat. Anggota
organisasi sekolah tidak pula terbatas pada warga masyarakat lokal tetapi siapa
saja yang mempunyai kepedulian terhadap urusan sekolah meskipun berdomisili
sangat jauh dari sekolah.
Dari berbagai pendapat di atas,
dapat dipahami mengenai esensi dari manajemen berbasis sekolah. Esensinya adalah
(a) adanya otonomi sekolah yang lebih besar dalam mengelola dimensi–dimensi
pendidikan di sekolah dan (b) mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Sedang manajemen pendidikan
berbasis sekola yang sedang dikembangkan di Indonesia lebih menekankan pada
pemberian kewenangan, kepercayaan, dan kemandirian kepada sekolah untuk
mengelola dan mengembangkan sumber daya pendidikan dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan di sekola masing–masing serta
mempertanggung jawabkan hasilnya kepada orang tua siswa, masyarakat,
pemerintah dalam koridor kebijakan pendidikan nasional.
Dengan demikian, target utama
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di Indonesia adalah pemberdayaan
sekolah untuk secara mandiri dapat meninngkatkan mutu pendidikan masing–masing.
Oleh karena itu, kemampuan kepemimpinan dan manajemen dari kepala sekolah dan
ketersediaan sumber daya yang memadai merupakan persyaratan bagi keberhasilan
pelaksanaan MPMBS ini.
2. Model Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan
Berbasis Sekolah (MPMBS).
Selaras dengan reformasi
pendidikan maka model Manajemen Berbasis Sekolah (School–Based Management)
menjadi pilihan untuk mengembangkan sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah merupakan
salah satu model manajemen pendidikan yang telah lama diberlakukan di
Indonesia. Sekolah–sekolah dan pondok pesantren yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah, Al
Jamiatul Washliyah, Nahdhatul Ulama, dan lain–lain. Manajemen model ini
diberlakukan tidak hanya di Indonesia tetapi di banyak negara maju. Di Amerika,
menurut Mohramn (1994:218), Manajemen Berbasis Sekolah mulai dilaksanakan di
banyak sekolah negeri pada akhir tahun 1980-an.
Secara esensi Manajemen Berbasis Sekolah yang
mengakomodasi dua tuntutan. Pertama, tuntutan peningkatan mutu sekolah
yang mengacu pada model Manajemen
Kualitas Total (Total Quality Management). Kedua, tuntutan
desentralisasi pendidikan
(Soetarto,2001).
Edwart Sallis (1993:24)
menjelaskan bahwa sebuah layanan dapat dikatakan bermutu apabila memang dapat
memuaskan semua pelanggan, yaitu memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Oleh
Sallis (1993:31), pelanggan dalam dunia pendidikan lebih tepat jika disebut
dengan istilah “Klien“, karena sebutan seperti itu mengandung konotasi adanya
hubungan profesional antara pihak yang memberi layanan dengan pihak yang
dilayani.
Dalam konteks pendidikan,
pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia,
karena dibutuhkan untuk berlang-sungnya proses pendidikan, yakni berupa sumber
daya dan perangkat lunak serta harapan–harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses pendidikan.
Input sumber daya pendidikan meliputi sumber
daya manusia yaitu kepala sekolah, guru, karyawan pendidik dan sumber daya
lainnya yaitu peralatan, perlengkapan, uang dan sebagainya.
Input perangkat pendidikan terdiri atas
struktur organisasi sekolah, peraturan perundang–undangan, kurikulum, deskripsi
tugas, rencana, program dan sebagainya. Input harapan–harapan berupa visi,
misi, tujuan dan saran–saran yang ingin dicapai oleh sekolah.
Proses pendidikan merupakan perubahan sesuatu
menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya
proses, disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam
pendidikan berskala mikro atau tingkat sekolah, yang dimaksud dengan proses
adalah pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan
tertinggi dibandingkan dengan proses–proses yang lain.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah yaitu guru,
kurikulum, dana, peralatan dan sebagainya dilaksanakan secara harmonis,
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang nikmat (enjoy–learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, serta benar–benar mampu
member-dayakan peserta didik. Memberdayakan mengandung arti peserta didik tidak
sekedar mengetahui pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi
pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan murni peserta didik, dihayati,
diamalkan dalam kehidupan sehari–hari, dan yang lebih pentingg lagi peserta
didik tersebut mampu mengembangkan diri di lingkungannya. Sehingga menjadi
insan yang bertakwa ilahiah, berilmu amaliah, beramal ilmiah, dan berteknologi
basyariah.
Output pendidikan merupakan kinerja
tertinggi. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses
atau perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur keasliannya,
efiktifitasnya, produktifitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah,
dapat dijelaskan kalau output sekolah berkualitas atau bermutu. Jika prestasi
sekolah, khususnya prestasi peserta didik. Menunjukkan prestasi yang tinggi
dalam hal berikut: (1) Hasil tes kemampuan akademik, berupa nilai ulangan umum,
NEM EBTA dan EBTANAS, Karya Ilmiah Remaja, temuan teknologi tepat guna
sederhana dn sebagainya. (2) prestasi non akademik, seperti prestasi olahraga,
kesenian, keterampilan, mengarang dan sebagainya.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya
yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan terkait dengan sekolah atau “stakeholders“
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional. Dari pengertian ini terlihat bahwa sekolah memiliki kewenangan lebih
besar dari sebelumnya untuk mengelola sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif
merupakan esensi MPMBS (Depdiknas,2001:3).
Depdiknas (2001:3) mengemukakan pula
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara
langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua
siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya sekolah lebih berdaya
dalam mengembangkan program–program yang tertentu saja, lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan
keputusan partisipatif yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam
pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat.
Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab
akan peningkatan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya. Inilah esensi
pengambilan keputusan partisipatif. Baik peningkatan otonomi sekolah mampu
pengambilan keputusan partisipatif tersebut kesemuanya ditujukan untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan nasional yang berlaku.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai
pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi
pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pengambilan keputusan
pendidikan, yang bukan hanya bersifat makro saja tetapi jauh kepada hal–hal
yang bersifat mikro. Sementara sekolah cenderung hanya melaksa-nakan
kebijakan–kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar
siswa, lingkungan sekolah dan harapan orang tua.
Pengalaman menunjukkan bahwa sekolah dengan
kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
Fenomena pemberian kemandirian kepala sekolah ini memperlihatkan suatu
perubahan cara berpikir dari sifat rasional normatif dan pendekatan preskriptif
di dalam pengambilan keputusan pendidikan pada suatu kesadaran akan kompleksnya
pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin
tidak dapat mengapresiasikan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang
kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang
merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
3. Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
merupakan alternatif baru dalam pengelolaan lembaga pendidikan yang lebih
menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini tidak bisa
dipisahkan dengan teori “effective school” yang lebih memfokuskan diri pada
perbaikan proses pendidikan (Depdiknas,2001:11).
Jika Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah merupakan wadah, sedang sekolah efektif adalah isinya. Oleh karena itu,
karakter Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah berikut memuat secara
inklusif elemen–elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input,
proses, dan output.
Berikutnya akan diuraikan dimulai dari
output, proses dan diakhiri dengan input, karena model manajemen berbasis
sekolah pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berpikir sistem).
Mengingat output memiliki kepentingan yang lebih tinggi, proses memiliki
kepentingan setangga dibawahnya dan input memiliki kepentingan dua tangga di
bawah output.
a.
Output yang diharapkan
Kinerja sekolah adalah
prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses sekolah. Kinerja sekolah diukur
dari kualitasnya, efektivitasnya, produk-tivitasnya, efisiensinya, inovasinya,
kualitas kehidupan kinerjanya, dan moral kerjanya (Slamet PH,2000:11).
Dalam dunia pendidikan
pada umumnya, output diklasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi
akademik dan output berupa prestasi non akademik (Depdiknas,2001:12).
Output prestasi akademik
umpamanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (bahasa Inggris, Matematika,
Fisika). Output prestasi non akademik umpamanya, memiliki kepribadian (aklaq)
yang mulia (seperti: keingin tahuan yang tinggi, amanah, kejujuran, kerjasama
yang baik, kedisi-plinan, kerajinan, rasa kasih saya yang tinggi terhadap
sesama, dan seterusnya), prestasi olah raga, kesenian, kepramukaan dan
lain–lain.
b.
Proses yang diharapkan
Ada beberapa karakteristik
proses pada sekolah yang menerapkan MPMBS (Depdiknas,2001:12– 18) sebagai
berikut :
a)
Effektivitas proses belajar mengajar tinggi berupa pemberdayaan
peserta didik maupun belajar cara belajar (learning to learn).
b)
Kepemimpinan sekolah yang kuat dalam mengkoor-dinasikan,
menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
c)
Pengelolaan yang efektif tenaga kependidikan terutama guru
yang selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan bik.
d)
Sekolah memiliki budaya mutu yang mempunyai elemen–elemen
sebagai berikut: 1) Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan
untuk mengontrol SDM; 2) Kewenangan harus sebatas tanggung jawab; 3) hasil
harus diikuti rewards dan punishment; 4) kolaborasi, sinergi
bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerja sama; 5) warga sekolah
merasa aman terhadap pekerjaannya; 6) imbal jasa harus sepadan dengan nilai
pekerjaannya; 7) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
e)
Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan
dinamis.
f)
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian).
g)
Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
h)
Sekolah memiliki keterbukaan (tranparansi) manajemen dan
pengelolaan sekolah.
i)
Sekolah memiliki kemampuan untuk berubah untuk peningkatan
mutu peserta didik.
j)
Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara
berkelanjutan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik
dan memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan
menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah.
k)
Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan dan
berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu.
l)
Sekolah memiliki akuntabilitas (bentuk pertanggung jawaban)
yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan.
m)
Sekolah memiliki sustainabilitas yang tinggi karena di
sekolah tersebut terjadi proses skumulasi peningkatan mutu sumber daya manusia,
diversifikasi sumber dana, pemilikan aset sekolah yang mampu menggerakkan income
generating activities dan dukungan yang tinggi dari masyarakat terhadap
eksistensi sekolah.
c.
Input pendidikan yang diharapkan
Menurut Depdiknas
(2001:18–20) ada beberapa input pendidikan yang diharapkan yaitu :
a)
Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
b)
Sumber daya tersedia dan siap, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya selebihnya.
c)
Memiliki harapan prestasi yang tinggi untuk meningkatkan
prestasi peserta didik dan sekolahnya.
d)
Fokus pada pelanggan (khususnya peserta didik) sebagai
tujuan utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.
e)
Input manajemen untuk menjalankan roda sekola. Input
manajemen yang dimaksudkan adalah tugas yang jelas, rencana yang rinci dan
sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, aturan main yang
jelas sebagai panutan bagi warga sekolah untuk berbuat, dan adanya sistem
pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk menyakinkan agar sasaran yang
telah disepakati dapat dicapai.
4. Fungsi–fungsi yang Didesentralisasikan ke
Sekolah
Ada beberapa aspek fungsi–fungsi yang perlu
didesentralisasikan ke sekolah dalam MPMBS yaitu meliputi perencanaan dan
evaluasi program sekolah, pengelolaan kurikulum, pengelolaan proses belajar
mengajar, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dan masyarakat, dan
pengelolaan iklim sekolah (Depdiknas,2001:21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar