RANCANGAN USULAN PENELITIAN DISERTASI
PENERAPAN MODEL KONSTRUKTIVISTIK DALAM
MENGOPTIMALKAN CARA BERPIKIR SISWA SMAN PADA
MATA PELAJARAN SAIN
APPLYING
CONSTRUCTIVIST MODEL IN OPTIMAL THE WAY OF THINKING IN THE ELEMENTARY
SCHOOL STUDENTS
ON SCIENCE SUBJECTS THROUGH SAIN.
Penelitian Tindakan di SMAN 6 Madiun
Oleh :
Adi Suprayitno
a. Permasalahan
1.
Telah menjadi tradisi di kelas-kelas kita bahwa para
guru kita dalam merancang proses pembelajaran belum mampu menciptakan kondisi
belajar yang memungkinkan potensi siswa berkembang secara optimal. Apa yang
terjadi di kelas-kelas tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti
mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang
sangat elementer, di tingkat paling rendah. Pengembangan belahan otak kanan dan
kiri secara seimbang belum terjadi. Proses pembelajaran lebih banyak
mengembangkan belahan otak kiri yang cenderung berpikir konvergen, dan jarang
sekali menyentuh wilayah belahan otak kanan yang cenderung berpikir divergen.
2.
Proses pembelajaran mestinya dirancang agar siswa mampu
berpikir alternatif. Pendekatan pembelajaran yang digunakan tidak hanya
behavioristik, tetapi pendekatan konstniktivistik juga diperlukan agar siswa
terangsang untuk terus belajar (belajar aktif, belajar menemukan, belajar
memecahkan masalah, belajar menyelidiki, dan belajar menghayati) (Soedijarto, 2001:
133). Begitu juga teknik evaluasinya jangan hanya menggunakan tes bentuk
oyektif, tetapi menyusun laporan eksperimen, menyusun laporan pengamatan,
menyusun laporan wawancara, dan tes uraian merupakan teknik evaluasi yang
diperlukan juga dalam proses pembelajaran.
3. Sistem evaluasi yang demikian itu
cenderung melahirkan praktik yang tujuannya hanyalah membiasakan peserta didik
berlatih menjawab pertanyaan dalam bentuk obyektif. Sehingga proses
pembelajaran yang menuntut kemampuan menyelidik, kemampuan menemukan masalah,
memilih cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi kebiasaan bekerja keras,
tekun dan teratur, tidak mungkin dapat terwujud.
b. Rumusan Masalah dan
Rasionalisasinya
1.
Apakah penerapan model pembelajaran konstruktivistik pada mata pelajaran Sains dapat
meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII
di SMAN 6 Madiun secara seimbang?
2.
Seting kelas bagaimana yang mampu meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen
siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
3.
Sistem evaluasi bagaimana yang mampu meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen
siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
c. Tujuan Penelitian
1.
Untuk penerapan
model pembelajaran konstruktivistik pada mata pelajaran Sains dapat meningkatkan cara
berpikir konvergen dan divergen siswa kelas
X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang?
2.
Untuk
meningkatkan cara berpikir konvergen
dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
3.
Untuk mengevaluasi
dalam meningkatkan cara berpikir konvergen
dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
d. Rancangan teori
1. Rencana Tindakan
Siklus pertama dalam
penelitian tindakan ini dirancang dengan tahapan sebagai berikut; pertama,
mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan pengembangan cara berpikir siswa.
Identifikasi masalah dilakukan dalam rangka menggali konteks permasalahan untuk menentukan solusi pemecahan masalah yang dihadapi.
Identifikasi masalah dilakukan dengan metode diskusi dan dialog antara peneliti, guru, dan kepala sekolah.
Dari hasil diskusi dan dialog
ditemukan bahwa cara berpikir konvergen dan divergen siswa belum dikembangkan secara seimbang dalam proses pembelajaran. Pengembangan cara
berpikir konvergen lebih dominan dikembangkan
daripada cara berpikir divergen. Penyebab utamanya adalah kekurangmampuan guru dalam merancang model
pembelajaran yang mampu mengembangkan
cara berpikir konvergen dan divergen secara seimbang.
Kedua, menentukan solusi atau bentuk tindakan
yang akandiimplementasikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Bentuk
tindakan yang akan diimplentasikan pada siklus pertama ini adalah penerapann
model pembelajaran kontruktivistik. Penerapan model siaran konstruktivistik
dilakukan dengan alasan, selama ini model pembelajaran yang diterapkan adalah
model behavioristik yang ternyata kurang mampu mengembangkan cara berpikir
konvergen dan divergen secara seimbang.
Ketiga, menyusun rancangan tindakan. Model
konstruktivistik diterapkan pada mata pelajaran Sains kelas X-XII di SMAN 6
Madiun. Secara garis besar model yang akan diterapkan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: 1) guru bersama siswa mendiskusikan topik/sub topik, metode
belajar, dan strategi pemecahan masalah mata pelajaran Sains yang akan
dipelajari, 2) mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan
kaya akan berbagai alternatif, 3) mengintegrasikan proses belajar dengan
pengalaman nyata dan relevan, 4) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menentukan isi dan arah mereka sendiri, 5) menanamkan belajar melalui
pengalaman bersosialisasi, 6) mendorong penggunaan berbagai bentuk presentasi,
dan 7) mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan
pengetahuan.
Keempat, mengimplementasikan rancangan tindakan
siklus pertama.Implementasi tindakan dilakukan oieh guru kelas dan dimonitor
oleh peneliti secara intensif dengan menggunakan instrumen yang teiah
disiapkan.
Kelima, melakukan monitoring dan evaluasi.
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
bentuk tindakan yang sedang diimplementasikan. Monitoring dan evaluasi
dilakukan oleh peneliti bersama guru dengan instrumen angket, lembar
pengamatan, panduan wawancara dan tes.
Keenam, merefleksi hasil tindakan siklus pertama
untuk membuat rekomendasi apakah tindakan dihentikan atau dilanjutkan pada
siklus berikutnya.
2. Teori konstruktivis
Menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan
proses aktif pemelajar mengkonstruksi arti baik teks, dialog, maupun pengalaman
fisis. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman
atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang
sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut memiliki ciri-ciri
berikut:
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna
diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan amati. Konstruksi
arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi
arti merupakan proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi.
c. Belajar
bukan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran
dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan hasil perkembangan,
melainkan merupakan perkembangan itu sendiri. Perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d. Proses
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorangdalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi
tetidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e. Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman pemelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
f.
Hasil
belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui pemelajar:
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan
yang dipelajari.
3.
Berpikir Konvergen
Berpikir secara konvergen
yang bersumber dari fungsi belahan otak kiri, merupakan cara berpikir vertikal, rasional, metodis analitis,
dan linier menuju pada suatu kesimpulan tertentu. Orang
dengan kecenderungan berpikir secara
konvergen mampu menangkap detail objek stimuli dengan baik, banyak membutuhkan fakta riil untuk
membuat suatu kesimpulan, lebih mementingkan
struktur dan kepastian, serta menggunakan bahasa dan logika dalam berpikir. Pemikir konvergen
cenderung menyukai tugas-tugas praktis,
kegiatan yang terstruktur, bekerja dengan fakta, berpikir &
bertindak secara bertahap, serta memandang setiap persoalan secara serius.
Cara berpikir konvergen adalah
cara berpikir dimana seseorang didorong untuk menemukan jawaban yang benar atas
suatu permasalahan.Cara berpikir konvergen nyaris terfokus, intens,
cepat, dan terbatas pada informasi yang tersimpan dalam lokasi memori tertentu.
Strategi ini diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan
angka-angka, memecahkan masalah analogi verbal, atau mengingat ejaan
(“spelling") dari suatu kata yang lebih banyak berkaitan dengan kemampuan
intelektual.
4. Berpikir Divergen
Cara berpikir divergen
adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan
otak kanan, berpikir lateral, menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang
dari pusat persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif,
berpikir untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi
yang diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, dan orijinalitas
jawaban. Cara berpikir divergen menujuk pada pola berpikir yang menuju
ke berbagai kemajemukan yang ditandai oleh adanya kelancaran
("fluency"), kelenturan aan keaslian ("originality").
Sehingga proses pembelajaran
mestinya dirancang agar peserta didik mampu berpikir alternatif. Pendekatan
pembelajaran yang digunakan tidak hanya behavioristik, tetapi pendekatan
konstruktivistik juga diperlukan agar peserta didik terangsang untuk terus
belajar (belajar aktif, belajar menemukan, belajar memecahkan masalah, belajar
menyelidiki, dan belajar menghayati). Begitu juga teknik evaluasinya jangan
hanya menggunakan tes bentuk obyektif, tetapi menyusun laporan eksperimen,
menyusun laporan pengamatan. menyusun laporan wawancara, tes uraian, dan
sebagainya merupakan teknik evaluasi yang diperlukan juga dalam proses
pembelajaran,
Sesuai dengan fungsi dan
kerja belahan otak kanan, berpikir secara divergen adalah cenderung
lateral, tidak rasional, lebih banyak berurusan dengan gambaran intuisi yang
menyatukan berbagai ide terpisah ke dalam satuan ide baru yang utuh. Berpikir divergen
mampu menangkap obyek keseluruhan dengan baik, tetapi kurang mampu menangkap
detail obyek bersangkutan. Pemikir divergen cenderung menyukai
ketidakpastian, senang bergulat dengan ilmu-ilmu yang sukar dipahami melalui
logika, tertarik pada pernyatan/pertanyaan yang memiliki banyak jawaban, peka
terhadap sentuhan rasa dan gerak, serta lebih menyukai kiasan dan ungkapan. Dalam memberikan penjelasan pemikir divergen
sering menggunakan gambar dan atau gerak tertentu. Orang
dengan kecenderungan cara berpikir divergen lebih
mudah mengingat wajah dari pada nama, banyak bekerja
dengan imajinasi, menghadapi sesuatu (masalah) dengan santai,
menyukai kebebasan dan senang berimprovisasi.
Cara berpikir divergen
adalah pencarian strategi yang memiliki fokus luas yang memungkinkan terjadinya
hubungan antar schemata yang semestinya tidak terjadi hubungan. Hal ini hanya
dimungkinkan kalau pencarian itu dilakukan dalam suasana rilek, perlahan,
dengan leluasa, dan tidak terbatas pada informasi-informasi yang tersimpan
dalam lokasi memori tertentu. Dalam konteks ini proses berpikir kreatif di mana
kemampuan untuk mencari hubungan-hubungan baru, kombinasi-kombinasi baru antar
unsure data, dan hal-hal yang sudah ada sebelumnya untuk menjawab suatu
persoalan menjadi salah satu bentuk riil dari cara berpikir divergen.
Berpikir divergen
adalah berpikir secara sistemik ("system thinking") yang memusatkan
pada bagaimana sesuatu berinteraksi dengan unsur-unsur pokok
("constituent") lain dalam suatu sistem, serangkaian elemen
berinteraksi untuk menghasilkan suatu keutuhan. Berpikir sistem, bekerja dengan
memperluas pandangan ke dalam perhitungan dan jumlah yang lebih besar dari
interaksi sebagaimana issu yang menjadi obyek kajian. Dengan berpikir secara
sistemik ini sebagian besar permasalahan sulit lebih memungkinkan untuk
dipecahkan, karena sumber dan arah pemecahan tidak hanya tertuju pada suatu
jawaban yang pasti.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
cara berpikir divergensecara umum memiliki karakteristik; (a) lateral,
artinya memandang suatu persoalan dari beberapa sisi, (b) divergen menyebar ke
berbagai arah untuk menemukan banyak jawaban, (c) hclistik - sistemik, bersifat
menyeluruh –global (c) intuitif - imajinatif, (d) independen, dan (e) tidak
teramalkan (“unpredictable").
e.
Metodologi
Intervensi tindakan
menggunakan metode simultan terintegrasi. Desain penelitian ini mengacu pada
apa yang dikemukakan Kemmis and Taggart.
Gambar 3.1: Siklus Penelitian Tindakan
Langkah-langkah action research
sebagaimana dikemukakan oleh Kemmis and Taggart tersebut, kemudian dirinci
lebih detail oleh Hilda Taba &Elizabeth Noel sebagai berikut; problem
Identification, problem analysls, formulating hypotheses, action, and
evaluation.
Instrumen pengumpul data
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: angket, lembar pengamatan,
panduan wawancara, dan tes. Angket digunakan untuk mengungkap data tentang
kecenderungan cara berpikir siswa (konvergen-divergen). Dimensi-dimensi
kecenderungan cara berpikir ini dalam hal ini merujuk pada apa yang dikemukakan
oleh Good and Brophy yang mengutip pendapat Sigel and Coop, menyatakan bahwa
cara berpikir dapat diidentifikasi dari dimensi-dimensi; 1) perhatian terhadap
ciri globai dari stimuli vesus detail, 2) deskriminasi (pembedaan) stimuli
kedalam kategori besr (luas) versus kategori kecil (sempit), 3) kecenderungan
mengklaisfikasi unsur-unsur karakteristik yang teramati versus kesamaan fungsi
atau waktu dan tempat versus atribut abstrak yang dimiliki, 4) berperilaku
cepat, impulsif versus lambat, seksama dalam menghadapi masalah, 5) berpikir
intuitif, induktif versus logik, deduktif, dan 6) cenderung menentukan struktur
pada apa yang dirasakan versus memberikan persepsi untuk distrukturkan dengan
ciri-ciri khusus dan stimuli yang dipengaruhi oleh konteks atau sumber lain.
Dari dimensi-dimensi
tersebut orang dapat diidentifikasi kecenderungan cara berpikirnya, apakah
cenderung berpikir secara konvergen atau cenderung berpikir secara divergen.
Orang yang cenderung berpikir secara konvergen akan nampak dari proses
kognisinya yang lebih bersifat detail terstruktur, mengklasifikasi obyek
berdasar ciri-ciri yang teramati, lambat bertindak tetapi seksama, logis
deduktif, dan mempersepsi stimuli dalam kontek spesifik sesuai dengan apa yang
diterima/dirasakan. Sebaliknya orang yang cenderung berpikir divergen
menunjukkan proses kerja kognisi yang lebih bersifat global sistemik,
mengklasifikasi obyek berdasarkan ciri atribut fungsional, cepat bertindak dan
impulsif, berpikir secara intuitif dan induktif mempersepsi stimuli dalam
konteks yang lebih luas.
Lembar pengamatan digunakan
untuk mengungkap data tentang seting kelas dan aktivitas belajar siswa. Panduan
wawancara digunakan untuk mengungkapkan data tentang sistem evaluasi
pembelajaran. Tes digunakan untuk mengukur kemajuan belajar siswa.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah; angket, observasi, wawancara dan tes.
Angket digunakan untuk mengungkap data tentang kecenderungan cara berpikir
siswa. Observasi dilakukan untuk mengungkap data tentang seting kelas, dan data
tentang aktivitas belajar siswa. Wawancara dilakukan untuk mengungkap data
tentang seting kelas, aktivitas belajar siswa, dan sistem evaluasi
pembelajaran. Sementara itu tes digunakan untuk mengungkap data tentang
kemajuan belajar siswa.
Agar hasil penelitian
memiliki tingkat keterpercayaan yang memadai maka diperlukan empat standar atau
kriteria, yaitu; credibility, transferability, dependability, and
confirmability.
1. Credibility
Standar kredibilitas
diperlukan supaya hasil penelitian dapat dipercaya oleh pembaca, dan juga dapat
disetujui kebenarannya oleh partisipan. Dalam hal ini terdapat tujuh teknik
yang dapat dilakukan, yaitu; 1) memperpanjang atau tidak tergesa-gesa dalam
membawa data sebelum tercipta rapport waktu kegiatan penelitian di lapangan
atau prolonged engagement, 2) melakukan observasi secara terus-menerus dan
sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu sehingga informasi yang diperoleh
bisa semakin "apa adanya", mendalam, dan rinci berkaitan dengan topik
penelitian, atau persistent observation 3) melakukan setidak-tidaknya
trianggulasi metode dan trianggulasi sumber data, sehingga kebenaran data yang
diperoleh melalui suatu metode dan dari suatu sumber juga dapat dicek dengan
data yang diperoleh melalui metode lain dan dari sumber lainnya atau triangulation;
4) melibatkan teman sejawat yang tak ikut meneliti untuk membicarakan dan
bahkan mengkritik segenap proses dan hasil penelitian sehingga peneliti bisa
memperoleh masukan atas kelemahan yang mungkin terjadi dari penelitian yaitu
dilakukannya, atau peer debriefing 5) melakukan analisis kasus negatif atau negative
case analysis, yaitu dengan cara menguji ada tidaknya kasus /keadaan yang
dapat menyanggah kebenaran hipotesis/temuan/hasil penelitian, yang bila
terdapat kasus atau bukti sanggahan, maka hasil penelitian tersebut perlu
dimodifikasi dan dianaliasis kembali secara negatif hinga sampai ke suatu titik
yang sudah tak terbantah lagi; 6) melacak kesesuaian segenap hasil analisis data,
dan bila semakin sesuai dan bahkan bisa saling menjelaskan satu dengan yang
lain, maka hasil penelitiannya semakin terpercaya, atau melakukan teknik referential
adequacy checks, dan 7) mengecek kesesuaian rekaman, interpretasi, dan
simpulan-simpulan hasil penelitian dengan apa yang telah diperoleh dari para
partisipan selama penelitian berlangsung, yaitu dengan jalan meminta kepada
mereka untuk mereview dan mengecek kebenarannya, atau melakukan member
checking.
2. Transferability
Standar ini sesungguhnya
merupakan empirical question yang tak dapat dijawab oleh peneliti. Yang
dapat menjawab dan menilainya adalah para pembaca laporan penelitian. Bila
pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran yang sedemikian jelasnya ke
latar atau konteks “semacam apa" suatu hasil penelitian dapat diberlakukan
(transferable), maka laporan tersebut memenuhi standar
teransferabilitas. Untuk memenuhi standar tersebut, jalan satu-satunya adalah
dengan memperkaya deskripsi latar/konteks yang menjadi fokus penelitian.
3. Dependability
Standar
ini berkaitan dengan pengecekan atau penilaian akan “salah benarnya” penelitian
dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti. Proses mengumpulkan data,
menginteprestaiskan temuan, dan melaporkan hasil penelitian, semakin konsisten
seorang peneliti dalam keseluruhan proses penelitiannaya, maka semakin memenuhi
standar dependabilitas. Suatu teknik utama untuk menilai dependabilitas ialah
dengan melakukan audit dependabilitas itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh
seorang atau beberapa orang auditor yang independen, dengan jalan melakukan
review terhadap segenap jejak aktivitas penelitian (sebagaimana yang terekam
dalam segenap caratan lapangan, dokumen/arsip lapangan, dan laporan penelitian
itu sendiri). Jika peneliti tak memiliki dan tak menunjukkan “jejak aktivitas
lapangannya”, maka dependabilitas penelitiannya patut diragukan.
4. Confirmability
Standar
ini banyak miripnya dengan standar dependabilitas yang berkenaan dengan mutu
hasil penelitian dengan memperhatikan topangan catatan/rekaman data lapangan
(hasil audit dependabilitas) dan koherensi internalnya dalam penyajian
interpretasi dan kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian. Audit konfirmabilitas
ini dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan audit dependabilitas. Jika
hasil audit tersebut menunjukkan adanya konfirmabilitas, maka hasil penelitian
bersangkutan bisa diterima atau diakui oleh para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar