Sabtu, 24 Januari 2015

SIG - SMAN 6 Madiun



Manusia dan Lingkungannya
Manusia hidup dalam suatu ruang dengan berbagai situasi dan kondisi. Dalam kehidupannya, manusia akan berinteraksi dengan segala hal yang ada dalam ruang disekitarnya tersebut. Segala hal yang ada disekitarnya beserta segala interaksinya membentuk sistem hubungan timbal balik yang sinergis yang disebut lingkungan.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 menjelaskan bahwa lingkungan merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam pengertian lain lingkungan diartikan sebagai habitat biotik dan kondisi fisikalnya yang ada disekitar kita yang dapat diindera (Henry dan Heinke, 1996).
 Kualitas lingkungan memberikan pengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Kondisi lingkungan merupakan kunci bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia dalam berbagai aktifitasnya (Skidmore, 2002).  Dengan kata lain, penurunan kualitas lingkungan akan menurunkan kualitas kehidupan manusia. Ketika kualitas lingkungan dijadikan dasar sebagai kunci bagi peningkatan kualitas hidup manusia, maka pemahaman mengenai lingkungan diperluas kaitannya pada berbagai macam aktivitas dalam aspek budaya, sosial dan ekonomi (Henry dan Heinke, 1996).
Pertambahan jumlah penduduk mendorong bertambahnya variasi usaha dan pergerakan manusia dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam usaha tersebut manusia dengan segala akal dan budinya melakukan pengubahan kondisi lingkungan yang disesuaikan dengan keinginannya. Perubahan yang terjadi pada satu unsur lingkungan akan memberikan dampak pada berbagai unsur lingkungan lainnya (Samant dan Subramanyan, 1998; Kusimi, 2008; Griscom et al., 2009). Perubahan pada salah satu unsur lingkungan dapat menimbulkan permasalahan lingkungan itu sendiri. Permasalahan lingkungan memiliki tiga gatra pokok yaitu pencemaran, usikan terhadap neraca ekologi, dan pengurasan (eksploitasi) sumberdaya alam (Tedjoyuwono, 2006). Ketiga masalah pokok tersebut bermula dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia secara berlebihan dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya. Pencemaran terhadap lingkungan muncul akibat pembuangan sisa aktivitas kehidupan yang dilakukan dalam berbagai skala. Pencemaran dapat terjadi pada air, tanah dan udara. Usikan terhadap neraca ekologi bermula ketika manusia mulai mencoba mengubah kondisi lingkungan agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh manusia. Bermula dari hal tersebut, muncul ketidakseimbangan neraca ekologis karena eksploitasi yang berlebih terhadap sumberdaya lingkungan.
Permasalahan lingkungan terkait dengan masalah-masalah sistem lahan, air dan udara. Keterkaitan sistem lahan, air dan udara akan semakin kompleks sejalan dengan tingkat kompleksitas aktivitas manusia pada lingkungannya. Dampak pada lingkungan yang ditimbulkan oleh sistem industri lebih bersifat komplek dari pada dampak yang ditimbulkan oleh suatu sistem pertanian tradisional.
Sistem pertanian tradisional menggunakan hewan ternak sehingga tidak menghasilkan pencemar kimiawi yang berbahaya. Limbah aktifitas pertanian tradisional seperti daun, batang, dan lainnya lebih mudah terurai oleh biota pengurai dalam tanah. Oleh karena itulah sistem pertanian tradisional cenderung menghasilkan dampak yang lebih sederhana terhadap kondisi lingkungan.
Aktifitas pembuangan gas hasil industrialisasi dan transportasi menghasilkan akumulasi polusi udara. Akumulasi gas buang seperti CO2, N2O, dan lain-lain di atmosfer, selalu terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Penilaian terhadap kondisi lingkungan membutuhkan berbagai data yang memiliki makna terhadap penentuan lokasi geografis dari berbagai sumberdaya lahan (Reed et al., 2002). Sebagai misal, dalam penilaian terhadap kualitas lahan dibutuhkan informasi seperti kemiringan lahan, luas lahan, kandungan biomasa, dan lain-lain. Selain itu, dalam analisis lingkungan diperlukan alat yang memiliki kemampuan untuk observasi, pengukuran dan analisis, pemetaan, monitoring antar waktu dan tempat, dan dapat membantu dalam pengambilan keputusan (Horning et al., 2010).
Berdasar pada alasan tersebut, penginderaan jauh merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengkaji kondisi lingkungan baik secara multi waktu maupun multi tempat. Analisis kualitas lingkungan pada saat ini tidak hanya mencakup segala sesuatu yang dapat ”diraba” secara langsung oleh sensor penginderaan jauh seperti kualitas udara (Dinoi et.al, 2010) kualitas lahan (Forte et al., 2006),  dan kualitas air permukaan (Korosov et al. 2009; Gitelson et al, 2011), namun juga berkembang pada objek yang tidak secara langsung dapat ”diraba” oleh sensor seperti keberadaan air bawah tanah atau air dalam wilayah karst (Javed and Wani, 2009).

B.    Aplikasi Penginderaan Jauh untuk penilaian kondisi lingkungan
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001; Elachi, 2006). Informasi diperoleh dengan cara deteksi dan pengukuran berbagai perubahan yang terdapat pada lahan dimana obyek berada. Proses tersebut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman energi yang dipantulkan atau dipancarkan, memproses, menganalisa dan menerapkan informasi tersebut. Informasi secara potensial tertangkap pada suatu ketinggian melalui energi yang terbangun dari permukaan bumi, yang secara detil didapatkan dari variasi-variasi spasial, spektral dan temporal lahan tersebut (Landgrebe, 2003). Kemampuan teknologi penginderaan jauh dalam perolehan informasi yang luas tanpa persinggungan langsung dengan obyeknya banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal yang bersifat spasial. Hingga saat ini penginderaan jauh telah diaplikasikan untuk keperluan pengelolaan lingkungan, ekologi, degradasi lahan, bencana alam, hingga perubahan iklim (Horning et al, 2010; Roder, 2009).
Data penginderaan jauh memberikan informasi kondisi permukaan bumi. Informasi permukaan bumi yang dapat dengan mudah diperoleh adalah informasi tentang penutup dan penggunaan lahan. Informasi tentang penutup lahan dan penggunaan lahan sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan penilaian kondisi lingkungan. Perubahan kondisi penutup lahan dalam skala yang luas merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perubahan iklim global (Mayaux et al. 2008). 

B.1. Aplikasi dalam penilaian kualitas udara
Kualitas udara dapat dinilai salah satunya dari kandungan material partikel yang ada diudara tersebut. Dalam penelitiannya, Dinoi et al. (2010), memanfaatkan saluran Aerosol Optical Thicknesess (AOTs) dari citra MODIS baik Terra maupun Aqua. Saluran AOTs berkisar pada 550nm yang peka terhadap hamburan partikel di atmosfer. Dari penelitiannya tersebut, Dinoi et al., menemukan korelasi empiris antara nilai AOTs dari citra MODIS dengan nilai kandungan material partikel di atmosfer hasil pengukuran di lapangan sebagai berikut :
 Material Partikel (µg/m3) = 25(µg/m3) + 65(µg/m3) x AOTs
 Penelitian lain untuk penilaian kualitas udara dilakukan oleh Wong dan Nichol (2011). Wong dan Nichol juga menggunakan panjang gelombang 550nm yaitu pada saluran AOTs MODIS dan menambahkan parameter-parameter : sudut zenit matahari, sudut zenit satelit, pantulan hamburan reyleigh, panjang transmisi matahari dengan bumi, pantulan permukaan, dan pantulan hemisfer. 

 B.2. Aplikasi dalam penilaian kualitas lahan
Kualitas lahan sering dicirikan dari kondisi penutup lahannya. Algoritma yang sering digunakan dalam analisis penutup lahan vegetasi adalah dengan menggunakan indeks vegetasi. Indeks Vegetasi adalah pengukuran optis tingkat kehijauan (greenness) kanopi vegetasi, sifat komposit dari klorofil daun, luas daun, struktur dan tutupan kanopi vegetasi (Huete dan Glenn, 2011). Indeks vegetasi telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang vegetasi skala global. Indeks Vegetasi dapat secara efektif digunakan untuk pemetaan kekeringan, penggurunan (desertifikasi) dan penggundulan hutan (Horning et al, 2010).
Penelitian lain dilakukan oleh Forte et al (2006), menilai kerentanan lahan terhadap kejadian banjir pada graben Supersano-Ruffano-Nociglia. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan kenampakan morfo-struktural dari foto udara. Penilaian morfo-struktural diturunkan dari data DTM dan dibantu dengan GIS sebagai alat analisis. Metode utama yang digunakan adalah dengan menggunakan model Hazus Flood Model. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemanfaatan model Hazus Flood Model dapat memberikan hasil yang baik untuk penilaian tingkat kerentanan terhadap banjir, terutama di graben Supersano-Ruffano-Nociglia.

B.3. Aplikasi dalam penilaian kualitas air
Penilaian kualitas air dapat dilakukan dengan menilai kesehatan ekologis air tersebut. Phytoplankton merupakan renik sumber makanan dapat dijadikan sebagai penciri kesehatan ekologis air. Keberadaan phytoplankton merupakan kunci rantai kehidupan ekologis air.
Gitelson et al (2011), memanfaatkan keberadaan phytoplankton tersebut sebagai penciri dari kualitas air. Phytoplankton terdiri dari unsur mayoritas berupa chlorophil-a. Chlorophil-a ini memiliki sifat yang memantulkan, menyerap dan memendarkan suatu gelombang elektromagnetik. Menurut Gitelson et al (2011), terdapat tiga rentangan panjang gelombang yang penting untuk menilai keberadaan chlorophil-a yaitu :
-          Rentang serapan (absoption) yaitu di sekitar 670 nm
-          Rentang pendaran (flourescence) yaitu di sekitar 685 nm
-          Rentang puncak pantulan (reflectance) yaitu pada 700 nm
Algoritma yang diusulkan untuk mendapatkan nilai kandungan chlorophil-a tersebut adalah sebagai berikut :
CHL-a = [(rband7)-1 – (rband9)-1] x (rband10)            untuk citra MERIS NIR-Red 3 saluran
CHL-a = (rband7)-1 x (rband9)                                  untuk citra MERIS NIR-Red 2 saluran
CHL-a = (rband13)-1 x (rband15)                                                untuk citra MODIS
CHL-a = (rband6)-1 x (rband7)                                  untuk citra SeaWIFS
Dari hasil uji coba yang dilakukan menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi antara nilai CHL-a hasil pengukuran dari berbagai citra tersebut dengan hasil pengukuran chlorophyl-a di lapangan dan laboratorium dengan nilai R2 antara 0.94 hingga 0.99.

B.4. Aplikasi dalam pendugaan air bawah tanah
Aplikasi penginderaan jauh untuk pendugaan air bawah tanah baik kuantitas ataupun kualitas telah banyak dilakukan. Salah satu penelitian tentang air bawah tanah dengan penginderan jauh dilakukan oleh Solomon dan Quiel (2006). Solomon dan Quiel memanfaatkan data Citra Landsat dan DTM untuk menduga keberadaan air bawah tanah pada daerah karst. Dari data penginderaan jauh tersebut diturunkan parameter-parameter penduga keberadaan air bawah tanah, diantaranya : kondisi litologi, patahan, geomorfologi, dan slope lereng. Hasil analisis diuji dengan metode pumping test dilapangan.  Dari hasil pengujian tersebut, metode yang digunakan oleh Solomon dan Quiel dapat digunakan dengan baik dalam pendugaan keberadaan atau potensi air bawah tanah di daerah karst. 

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengkaji atau menilai kondisi lingkungan. Unsur lingkungan seperti udara, air, dan lahan serta berbagai unsur biotik yang ada dalam lingkungan tersebut memiliki penciri-penciri tertentu yang dapat digunakan untuk penilaian berbagai unsur lingkungan tersebut. Pola interaksi penciri unsur lingkungan dengan panjang gelombang merupakan kunci pengenalan dan penilaian yang penting. Dengan demikian untuk dapat mengaplikasikan penginderaan jauh dalam penilaian lingkungan, terlebih dahulu peneliti harus memahami penciri beserta sifat atau karakteristiknya.
Karakteristik yang harus dikenali dari penciri unsur lingkungan tersebut berupa karakteristik kuantitatif dan karakteristik kualitatif. Karakteristik kuantitatif berupa sifat yang ditunjukkan dalam interaksinya terhadap panjang gelombang, seperti digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dinoi (2010), Wong dan Nichol (2011), serta Gitelson (2011). Karakteristik kualitatif berupa berbagai pola, struktur, tekstur, kerapatan, panjang , bentuk dan lain-lain seperti digunakan dalam penelitian Solomon dan Quiel (2006).

Referensi
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012. Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/ Informasi_Perubahan_Iklim.bmkg
Dinoi A., Perrone M.R., Burlizzi, P., 2010. Application of Modis for Air Quality Studies Over Southeastern Italy. Remote Sensing. 2. 1767-1796.
Elachi, C., Zyl, V.J. 2006. Introduction to the Physic and Techniques of Remote Sensing. John Willey & Sons Inc.. New Jersey.
Forte F., Strobl, R. G., Penneta, I. 2006. A methodology using GIS, Aerial photos and remote sensing for loss estimation and flood vulnerability analysis in the Supersano-Ruffano-Nociglia Graben, Southern Italy. Environ Geol. 50. 501-594.
Gitelson, A.A., Gurlin, D., Moses, W.J., Yacobi, Y.Z., 2011. Remote estimation of chlorophyll-a concentration in Inland, estuarine, and coastal waters. Advance in Environmental Remote Sensing. 439-468.
Griscom, H.R., Miller, S.N., Ababio, T.G., Sivanpillal, R., 2010. Mapping land cover change of the Luvuvhu catcment South Africa for environment modelling. GeoJournal. 75. 163-173.
Henry, J.G., Heinke, G.W., 1996. Environmental Science and Engineering. Second Edition. Pren tice-Hall International Inc. New Jersey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar