Selasa, 20 Januari 2015

Disertasi Rancangan penelitian S3 - SMAN 6 Madiun



RANCANGAN USULAN PENELITIAN DISERTASI

PENERAPAN MODEL KONSTRUKTIVISTIK DALAM MENGOPTIMALKAN CARA BERPIKIR SISWA SMAN PADA
MATA PELAJARAN SAIN

APPLYING CONSTRUCTIVIST MODEL IN OPTIMAL THE WAY OF THINKING IN  THE ELEMENTARY
SCHOOL STUDENTS ON SCIENCE SUBJECTS THROUGH SAIN.

Penelitian Tindakan di SMAN 6 Madiun

Oleh :
Adi Suprayitno


a. Permasalahan
1.      Telah menjadi tradisi di kelas-kelas kita bahwa para guru kita dalam merancang proses pembelajaran belum mampu menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan potensi siswa berkembang secara optimal. Apa yang terjadi di kelas-kelas tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat elementer, di tingkat paling rendah. Pengembangan belahan otak kanan dan kiri secara seimbang belum terjadi. Proses pembelajaran lebih banyak mengembangkan belahan otak kiri yang cenderung berpikir konvergen, dan jarang sekali menyentuh wilayah belahan otak kanan yang cenderung berpikir divergen.
2.      Proses pembelajaran mestinya dirancang agar siswa mampu berpikir alternatif. Pendekatan pembelajaran yang digunakan tidak hanya behavioristik, tetapi pendekatan konstniktivistik juga diperlukan agar siswa terangsang untuk terus belajar (belajar aktif, belajar menemukan, belajar memecahkan masalah, belajar menyelidiki, dan belajar menghayati) (Soedijarto, 2001: 133). Begitu juga teknik evaluasinya jangan hanya menggunakan tes bentuk oyektif, tetapi menyusun laporan eksperimen, menyusun laporan pengamatan, menyusun laporan wawancara, dan tes uraian merupakan teknik evaluasi yang diperlukan juga dalam proses pembelajaran.
3.      Sistem evaluasi yang demikian itu cenderung melahirkan praktik yang tujuannya hanyalah membiasakan peserta didik berlatih menjawab pertanyaan dalam bentuk obyektif. Sehingga proses pembelajaran yang menuntut kemampuan menyelidik, kemampuan menemukan masalah, memilih cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi kebiasaan bekerja keras, tekun dan teratur, tidak mungkin dapat terwujud.

b. Rumusan Masalah dan Rasionalisasinya
1.      Apakah penerapan model pembelajaran konstruktivistik pada mata pelajaran Sains dapat meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang?
2.      Seting kelas bagaimana yang mampu meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
3.      Sistem evaluasi bagaimana yang mampu meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?

c. Tujuan Penelitian
1.      Untuk penerapan model pembelajaran konstruktivistik pada mata pelajaran Sains dapat meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang?
2.      Untuk meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?
3.      Untuk mengevaluasi dalam meningkatkan cara berpikir konvergen dan divergen siswa kelas X-XII di SMAN 6 Madiun secara seimbang pada mata pelajaran Sains?

d. Rancangan teori
      1. Rencana Tindakan
Siklus pertama dalam penelitian tindakan ini dirancang dengan tahapan sebagai berikut; pertama, mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan pengembangan cara berpikir siswa. Identifikasi masalah dilakukan dalam rangka menggali konteks permasalahan untuk menentukan solusi pemecahan masalah yang dihadapi. Identifikasi masalah dilakukan dengan metode diskusi dan dialog antara peneliti, guru, dan kepala sekolah. Dari hasil diskusi dan dialog ditemukan bahwa cara berpikir konvergen dan divergen siswa belum dikembangkan secara seimbang dalam proses pembelajaran. Pengembangan cara berpikir konvergen lebih dominan dikembangkan daripada cara berpikir divergen. Penyebab utamanya adalah kekurangmampuan guru dalam merancang model pembelajaran yang mampu mengembangkan cara berpikir konvergen dan divergen secara seimbang.
Kedua, menentukan solusi atau bentuk tindakan yang akandiimplementasikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Bentuk tindakan yang akan diimplentasikan pada siklus pertama ini adalah penerapann model pembelajaran kontruktivistik. Penerapan model siaran konstruktivistik dilakukan dengan alasan, selama ini model pembelajaran yang diterapkan adalah model behavioristik yang ternyata kurang mampu mengembangkan cara berpikir konvergen dan divergen secara seimbang.
Ketiga, menyusun rancangan tindakan. Model konstruktivistik diterapkan pada mata pelajaran Sains kelas X-XII di SMAN 6 Madiun. Secara garis besar model yang akan diterapkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) guru bersama siswa mendiskusikan topik/sub topik, metode belajar, dan strategi pemecahan masalah mata pelajaran Sains yang akan dipelajari, 2) mengembangkan pengalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai alternatif, 3) mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman nyata dan relevan, 4) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan isi dan arah mereka sendiri, 5) menanamkan belajar melalui pengalaman bersosialisasi, 6) mendorong penggunaan berbagai bentuk presentasi, dan 7) mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan.
Keempat, mengimplementasikan rancangan tindakan siklus pertama.Implementasi tindakan dilakukan oieh guru kelas dan dimonitor oleh peneliti secara intensif dengan menggunakan instrumen yang teiah disiapkan.
Kelima, melakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas bentuk tindakan yang sedang diimplementasikan. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh peneliti bersama guru dengan instrumen angket, lembar pengamatan, panduan  wawancara dan tes.
Keenam, merefleksi hasil tindakan siklus pertama untuk membuat rekomendasi apakah tindakan dihentikan atau dilanjutkan pada siklus berikutnya.
2. Teori konstruktivis
Menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pemelajar mengkonstruksi arti baik teks, dialog, maupun pengalaman fisis. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut memiliki ciri-ciri berikut:
a.       Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan amati. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.      Konstruksi arti merupakan proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi.
c.       Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri. Perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorangdalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi tetidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pemelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
f.        Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui pemelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
      3. Berpikir Konvergen
Berpikir secara konvergen yang bersumber dari fungsi belahan otak kiri, merupakan cara berpikir vertikal, rasional, metodis analitis, dan linier menuju pada suatu kesimpulan tertentu. Orang dengan kecenderungan berpikir secara konvergen mampu menangkap detail objek stimuli dengan baik, banyak membutuhkan fakta riil untuk membuat suatu kesimpulan, lebih mementingkan struktur dan kepastian, serta menggunakan bahasa dan logika dalam berpikir. Pemikir konvergen cenderung menyukai tugas-tugas praktis, kegiatan yang terstruktur, bekerja dengan fakta, berpikir & bertindak secara bertahap, serta memandang setiap persoalan secara serius.
Cara berpikir konvergen adalah cara berpikir dimana seseorang didorong untuk menemukan jawaban yang benar atas suatu permasalahan.Cara berpikir konvergen nyaris terfokus, intens, cepat, dan terbatas pada informasi yang tersimpan dalam lokasi memori tertentu. Strategi ini diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan angka-angka, memecahkan masalah analogi verbal, atau mengingat ejaan (“spelling") dari suatu kata yang lebih banyak berkaitan dengan kemampuan intelektual.
4. Berpikir Divergen
Cara berpikir divergen adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kanan, berpikir lateral, menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang dari pusat persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, dan orijinalitas jawaban. Cara berpikir divergen menujuk pada pola berpikir yang menuju ke berbagai kemajemukan yang ditandai oleh adanya kelancaran ("fluency"), kelenturan aan keaslian ("originality").
Sehingga proses pembelajaran mestinya dirancang agar peserta didik mampu berpikir alternatif. Pendekatan pembelajaran yang digunakan tidak hanya behavioristik, tetapi pendekatan konstruktivistik juga diperlukan agar peserta didik terangsang untuk terus belajar (belajar aktif, belajar menemukan, belajar memecahkan masalah, belajar menyelidiki, dan belajar menghayati). Begitu juga teknik evaluasinya jangan hanya menggunakan tes bentuk obyektif, tetapi menyusun laporan eksperimen, menyusun laporan pengamatan. menyusun laporan wawancara, tes uraian, dan sebagainya merupakan teknik evaluasi yang diperlukan juga dalam proses pembelajaran,
Sesuai dengan fungsi dan kerja belahan otak kanan, berpikir secara divergen adalah cenderung lateral, tidak rasional, lebih banyak berurusan dengan gambaran intuisi yang menyatukan berbagai ide terpisah ke dalam satuan ide baru yang utuh. Berpikir divergen mampu menangkap obyek keseluruhan dengan baik, tetapi kurang mampu menangkap detail obyek bersangkutan. Pemikir divergen cenderung menyukai ketidakpastian, senang bergulat dengan ilmu-ilmu yang sukar dipahami melalui logika, tertarik pada pernyatan/pertanyaan yang memiliki banyak jawaban, peka terhadap sentuhan rasa dan gerak, serta lebih menyukai kiasan dan ungkapan. Dalam memberikan penjelasan pemikir divergen sering menggunakan gambar dan atau gerak tertentu. Orang dengan kecenderungan cara berpikir divergen lebih mudah mengingat wajah dari pada nama, banyak bekerja dengan imajinasi, menghadapi sesuatu (masalah) dengan santai, menyukai kebebasan dan senang berimprovisasi.
Cara berpikir divergen adalah pencarian strategi yang memiliki fokus luas yang memungkinkan terjadinya hubungan antar schemata yang semestinya tidak terjadi hubungan. Hal ini hanya dimungkinkan kalau pencarian itu dilakukan dalam suasana rilek, perlahan, dengan leluasa, dan tidak terbatas pada informasi-informasi yang tersimpan dalam lokasi memori tertentu. Dalam konteks ini proses berpikir kreatif di mana kemampuan untuk mencari hubungan-hubungan baru, kombinasi-kombinasi baru antar unsure data, dan hal-hal yang sudah ada sebelumnya untuk menjawab suatu persoalan menjadi salah satu bentuk riil dari cara berpikir divergen.
Berpikir divergen adalah berpikir secara sistemik ("system thinking") yang memusatkan pada bagaimana sesuatu berinteraksi dengan unsur-unsur pokok ("constituent") lain dalam suatu sistem, serangkaian elemen berinteraksi untuk menghasilkan suatu keutuhan. Berpikir sistem, bekerja dengan memperluas pandangan ke dalam perhitungan dan jumlah yang lebih besar dari interaksi sebagaimana issu yang menjadi obyek kajian. Dengan berpikir secara sistemik ini sebagian besar permasalahan sulit lebih memungkinkan untuk dipecahkan, karena sumber dan arah pemecahan tidak hanya tertuju pada suatu jawaban yang pasti.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa cara berpikir divergensecara umum memiliki karakteristik; (a) lateral, artinya memandang suatu persoalan dari beberapa sisi, (b) divergen menyebar ke berbagai arah untuk menemukan banyak jawaban, (c) hclistik - sistemik, bersifat menyeluruh –global (c) intuitif - imajinatif, (d) independen, dan (e) tidak teramalkan (“unpredictable").

e. Metodologi
Intervensi tindakan menggunakan metode simultan terintegrasi. Desain penelitian ini mengacu pada apa yang dikemukakan Kemmis and Taggart.


C:\Documents and Settings\user\My Documents\My Pictures\img001.jpg
 




















Gambar 3.1: Siklus Penelitian Tindakan
Langkah-langkah action research sebagaimana dikemukakan oleh Kemmis and Taggart tersebut, kemudian dirinci lebih detail oleh Hilda Taba &Elizabeth Noel sebagai berikut; problem Identification, problem analysls, formulating hypotheses, action, and evaluation.
Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: angket, lembar pengamatan, panduan wawancara, dan tes. Angket digunakan untuk mengungkap data tentang kecenderungan cara berpikir siswa (konvergen-divergen). Dimensi-dimensi kecenderungan cara berpikir ini dalam hal ini merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Good and Brophy yang mengutip pendapat Sigel and Coop, menyatakan bahwa cara berpikir dapat diidentifikasi dari dimensi-dimensi; 1) perhatian terhadap ciri globai dari stimuli vesus detail, 2) deskriminasi (pembedaan) stimuli kedalam kategori besr (luas) versus kategori kecil (sempit), 3) kecenderungan mengklaisfikasi unsur-unsur karakteristik yang teramati versus kesamaan fungsi atau waktu dan tempat versus atribut abstrak yang dimiliki, 4) berperilaku cepat, impulsif versus lambat, seksama dalam menghadapi masalah, 5) berpikir intuitif, induktif versus logik, deduktif, dan 6) cenderung menentukan struktur pada apa yang dirasakan versus memberikan persepsi untuk distrukturkan dengan ciri-ciri khusus dan stimuli yang dipengaruhi oleh konteks atau sumber lain.
Dari dimensi-dimensi tersebut orang dapat diidentifikasi kecenderungan cara berpikirnya, apakah cenderung berpikir secara konvergen atau cenderung berpikir secara divergen. Orang yang cenderung berpikir secara konvergen akan nampak dari proses kognisinya yang lebih bersifat detail terstruktur, mengklasifikasi obyek berdasar ciri-ciri yang teramati, lambat bertindak tetapi seksama, logis deduktif, dan mempersepsi stimuli dalam kontek spesifik sesuai dengan apa yang diterima/dirasakan. Sebaliknya orang yang cenderung berpikir divergen menunjukkan proses kerja kognisi yang lebih bersifat global sistemik, mengklasifikasi obyek berdasarkan ciri atribut fungsional, cepat bertindak dan impulsif, berpikir secara intuitif dan induktif mempersepsi stimuli dalam konteks yang lebih luas.
Lembar pengamatan digunakan untuk mengungkap data tentang seting kelas dan aktivitas belajar siswa. Panduan wawancara digunakan untuk mengungkapkan data tentang sistem evaluasi pembelajaran. Tes digunakan untuk mengukur kemajuan belajar siswa.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah; angket, observasi, wawancara dan tes. Angket digunakan untuk mengungkap data tentang kecenderungan cara berpikir siswa. Observasi dilakukan untuk mengungkap data tentang seting kelas, dan data tentang aktivitas belajar siswa. Wawancara dilakukan untuk mengungkap data tentang seting kelas, aktivitas belajar siswa, dan sistem evaluasi pembelajaran. Sementara itu tes digunakan untuk mengungkap data tentang kemajuan belajar siswa.
Agar hasil penelitian memiliki tingkat keterpercayaan yang memadai maka diperlukan empat standar atau kriteria, yaitu; credibility, transferability, dependability, and confirmability.
1. Credibility
Standar kredibilitas diperlukan supaya hasil penelitian dapat dipercaya oleh pembaca, dan juga dapat disetujui kebenarannya oleh partisipan. Dalam hal ini terdapat tujuh teknik yang dapat dilakukan, yaitu; 1) memperpanjang atau tidak tergesa-gesa dalam membawa data sebelum tercipta rapport waktu kegiatan penelitian di lapangan atau prolonged engagement, 2) melakukan observasi secara terus-menerus dan sungguh-sungguh dalam jangka waktu tertentu sehingga informasi yang diperoleh bisa semakin "apa adanya", mendalam, dan rinci berkaitan dengan topik penelitian, atau persistent observation 3) melakukan setidak-tidaknya trianggulasi metode dan trianggulasi sumber data, sehingga kebenaran data yang diperoleh melalui suatu metode dan dari suatu sumber juga dapat dicek dengan data yang diperoleh melalui metode lain dan dari sumber lainnya atau triangulation; 4) melibatkan teman sejawat yang tak ikut meneliti untuk membicarakan dan bahkan mengkritik segenap proses dan hasil penelitian sehingga peneliti bisa memperoleh masukan atas kelemahan yang mungkin terjadi dari penelitian yaitu dilakukannya, atau peer debriefing 5) melakukan analisis kasus negatif atau negative case analysis, yaitu dengan cara menguji ada tidaknya kasus /keadaan yang dapat menyanggah kebenaran hipotesis/temuan/hasil penelitian, yang bila terdapat kasus atau bukti sanggahan, maka hasil penelitian tersebut perlu dimodifikasi dan dianaliasis kembali secara negatif hinga sampai ke suatu titik yang sudah tak terbantah lagi; 6) melacak kesesuaian segenap hasil analisis data, dan bila semakin sesuai dan bahkan bisa saling menjelaskan satu dengan yang lain, maka hasil penelitiannya semakin terpercaya, atau melakukan teknik referential adequacy checks, dan 7) mengecek kesesuaian rekaman, interpretasi, dan simpulan-simpulan hasil penelitian dengan apa yang telah diperoleh dari para partisipan selama penelitian berlangsung, yaitu dengan jalan meminta kepada mereka untuk mereview dan mengecek kebenarannya, atau melakukan member checking.
2. Transferability
Standar ini sesungguhnya merupakan empirical question yang tak dapat dijawab oleh peneliti. Yang dapat menjawab dan menilainya adalah para pembaca laporan penelitian. Bila pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran yang sedemikian jelasnya ke latar atau konteks “semacam apa" suatu hasil penelitian dapat diberlakukan (transferable), maka laporan tersebut memenuhi standar teransferabilitas. Untuk memenuhi standar tersebut, jalan satu-satunya adalah dengan memperkaya deskripsi latar/konteks yang menjadi fokus penelitian.
3. Dependability
    Standar ini berkaitan dengan pengecekan atau penilaian akan “salah benarnya” penelitian dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti. Proses mengumpulkan data, menginteprestaiskan temuan, dan melaporkan hasil penelitian, semakin konsisten seorang peneliti dalam keseluruhan proses penelitiannaya, maka semakin memenuhi standar dependabilitas. Suatu teknik utama untuk menilai dependabilitas ialah dengan melakukan audit dependabilitas itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang atau beberapa orang auditor yang independen, dengan jalan melakukan review terhadap segenap jejak aktivitas penelitian (sebagaimana yang terekam dalam segenap caratan lapangan, dokumen/arsip lapangan, dan laporan penelitian itu sendiri). Jika peneliti tak memiliki dan tak menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka dependabilitas penelitiannya patut diragukan.
4. Confirmability
    Standar ini banyak miripnya dengan standar dependabilitas yang berkenaan dengan mutu hasil penelitian dengan memperhatikan topangan catatan/rekaman data lapangan (hasil audit dependabilitas) dan koherensi internalnya dalam penyajian interpretasi dan kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian. Audit konfirmabilitas ini dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan audit dependabilitas. Jika hasil audit tersebut menunjukkan adanya konfirmabilitas, maka hasil penelitian bersangkutan bisa diterima atau diakui oleh para pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar