Sabtu, 24 Januari 2015

Manjemen Mutu dan Berbasis Sekolah-ADISA SMAN 6 Madiun



Indonesia mendambakan insan–insan (sumber daya manusia) yang berkualitas yakni insan–insan yang berperilaku bertaqwa ilahiah, berilmu amaliah, beramal ilmiah dan berteknologi basyariah. Insan– insan itu harus dihadirkan tanpa reserve agar mampu berperan dalam persaingan global yang ketat.

Kalau kita berbicara tentang kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualita tersebut.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu proses yang tidak bisa  dipisahkan dengan proses peningkatkan kualitas (mutu) pendidikan tersebut. Namun pendidikan nasional kita baik sekolah negeri maupun swasta memiliki sejumlah masalah, salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan  satuan pendidikan, khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah. Umaidi (1999 : 2) mengatakan salah  satu indikator rendahnya mutu tersebut adalah NEM siswa untuk berbagai bidang  studi pada jenjang sekolah dasar dan menengah yang tidak menunjukkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke  tahun antara 4–5, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Menurut Depdiknas (2001:1–2) hal tersebut ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan. Pertama, program pembangunan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input–output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Educational prooduction function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan out pendidikan. Sehingga mengakibatkan berapa banyak input pendidikan yang tak terman-faatkan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan dan diatur secara birokratik–sentralistik (makro oriented). Hal ini mengakibatkan sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk perbaikan mutu pendidikan yang merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Hal ini mengakibatkan timbulnya persepsi bahwa penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu tidak mengherankan apabila partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat kewajiban untuk mendukung input pendidikan tertentu (dana), bukan proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabitas).
Seiring dengan reformasi pendidikan yang diilhami oleh Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan  Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Pemerintah memberikan kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan di semua jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta dengan pendekatan peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat.
Salah satu potensi bagi pemerintah adalah mengembangkan pendidikan yang telah dikelola oleh persyarikatan  Muhammadiyah, yang telah lama dikelola secara otonomi atau berbasis sekolah dan masyarakat.
Akan tetapi, implementasinya di sekolah–sekolah yang dikelola persyarikatan Muhammadiyah masih belum berjalan sesuai dengan yang dikehendaki sebagaimana essensi school–based management yakni otonomi sekolah + pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Praktek school–based management yang sesungguhnya (sesuai dengan konsep) perlu diimple-mentasikan pada semua sekolah, khususnya sekolah–sekolah yang dikelola persyarikatan Muhammadiyah.
Yang menjadi persoalan di antaranya belum diketahui bagaimana keterbukaan manajemen sekolah yang menyangkut program dan dana, bagaimana iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan persyarikatan, bagaimana kemandirian ditetapkan dalam perencanaan (program) MPMBS, dan bagaimana dampak MPMBS terhadap sekolah pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
Penelitian perlu segera diadakan untuk menjawab semua permasalahan di atas. Terjawabnya permasalahan tersebut akan sangat membantu pengembangan dan peningkatan kualitas manajemen yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan khususnya sekolah–sekolah yang dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah. Pada gilirannya, sekolah–sekolah yang dikelola oleh persyarikatan akan memberikan kepuasan pada semua stakeholder.

A.  Identifikasi Masalah

Berdasarkan survei pendahuluan dari penelitian ini diperoleh banyak informasi tentang masalah yang terjadi di dalam pengimplementasi MPMBS pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Diantara masalah tersebut adalah sebagai berikut ;
1.  Belum diketahui pengimplementasian School Review (evaluasi diri), Bench-marking (penentuan target sekolah), dan Quality Control (pengendalian mutu).
2.  Belum diketahui keterbukaan manajemen sekolah, baik di segi dana maupun program.
3.  Belum diketahui iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, komunitas sekolah dengan masyarakat/persyarikatan.
4.  Belum diketahui bentuk partisipasi stakeholder dalam pengimplementasi MPMBS.
5.  Belum diketahui efektifitas partisipasi dewan sekolah/majelis dikdasmen PCM/PDM dalam penggalian dana sekolah.
6.  Belum diketahui kemandirian sekolah.
7.        Belum diketahui ketercapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan MPMBS.
8.        Belum diketahui berbagai kendala yang ditemui sekolah dalam pengimplementasian MPMBS.
9.        Belum diketahui berbagai upaya yang telah dilaksanakan untuk menanggulangi kendala yang ditemui sekolah dalam pengimplementasian MPMBS.
10.   Belum diketahui dampak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) terhadap sekolah.

B.  Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada lingkup implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiya di Kota Yogyakarta. Fokus yang akan diungkap meliputi ;
1.  Keterbukaan manajemen sekolah, baik untuk program maupun untuk dana.
2.  Iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan persyarikatan Muhammadiyah (PCM/PDM).
3.  Kemandirian sekolah.
4.  Ketercapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan (program) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
5.  Dampak Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) terhadap sekolah.

C.  Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan dan identifikasi masalah, dipilih dan disusun rumusan masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1.  Bagaimana keterbukaan manajemen sekolah, baik untuk program maupun untuk dana pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
2.  Bagaimana iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan persyarikatan Muhammadiyah pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
3.  Bagaimana kemandirian sekolah pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?
4.  Seberapa jauh sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan (program) MPMBS pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta dapatt tercapai ?
5.  Bagaimana dampak MPMBS terhadap sekolah pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta ?

D.  Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.  Ingin mengetahui gambaran nyata tentang keterbukaan manajemen sekolah, baik untuk program maupun untuk dana pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
2.  Ingin mengetahui gambaran nyata tentang iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, dan antara komunitas sekolah dengan masyarakat dan persyarikatan Muhammadiyah pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
3.  Ingin mengetahui gambaran nyata kemandirian SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
4.  Ingin mengetahui seberapa jauh ketercapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam perencanaan (program) MPMBS pada SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta?
5.  Ingin mengetahui dampak MPMBS terhadap SLTP Muhammadiyah Kota Yogyakarta.

E.  Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah Kota Yogyakarta dan pada umumnya semua institusi pendidikan di Indonesia baik yang bersifat teoritas maupun praktis.
Manfaat teoritis; hasil penelitian ini  diharapkan menambah bahan kajian khususnya mengenai implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang dikelola Persyarikatan Muhammadiyah, dan seluruh institusi pendidikan pada umumnya.
Manfaat praktis; sebagai masukan atau informasi bagi stakeholder dalam mengimplementasikan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah di SLTP dan seluruh jenjang institusi pendidikan, khususnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Muhammadiyah Kota Yogyakarta.


BAB  II

KAJIAN TEORITIS

A.  Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

1.  Dasar dan Konsep Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah
Sejarah telah mencatat perkembangan perguruan di Indonesia, khususnya perguruan agama Islam. Ketika para pedagang Muslim dari Gujarat mengembara sampai ke tanah air ini, mereka menjumpai pendopo–pendopo (lembaga pendidikan tradisional) yang didirikan oleh masyarakat. pada pendopo itu mereka mengajarkan agama Hindu. Kemudian setelah agama  Islam tersebar keseluruh nusantara, lembaga itu tidak dirubah dan tetap dipertahankan, hanya dimodifikasi, semula di sana diajarkan muatan agama Hindu, kini dirubah diajarkan muatan agama Islam, yang dikenal sekarang istilah Pondok Pesantren. Pondok pesantren berkembang sesuai dengan tuntutan jaman melalui pembaharuan dan inovasi menjadi madrasah atau sekolah pribumi dan berkembang keduanya secara ganda atau berdampingan.
Pondok pesantren dan madrasah berkembang secara profesional dengan dukungan peran serta masyarakat. Watak kemandirian, keikhlasan pengabdian, dan kesetiakawanan merupakan ciri budaya madrasah dan pondok pesantren. Pada esensinya watak ini telah mengkristal secara intensif melalui sosialisasi dari lingkaran budaya spiritual antara kyai–santri–pondok–masjid. Masjid merupakan lambang kemasyara-katan.
Hal ini menunjukkan bahwa telah lama ada istilah community based management atau school based management atau site based management dalam pendidikan kita di Indonesia, dengan kata lain telah lama ada sekolah–sekolah yang dikelola oleh kalangan swasta. Baik yang dikelola oleh Yayasan maupun yang dikelola oleh organisasi. Data membuktikan, khususnya sekolah berciri khas agama Islam di Indonesia terdapat MI 24.979 buah yang 24.370 buah atau 97,6% adalah swasta, MTs 8.001 buh yang 7.499 buah atau 92,8% adalah swasta, dan MA 2.928 buah yang 2.573 buah atau 88% adalah swasta serta pondok pesantren 8.986 buah yang seluruhnya swasta             (Abdul Rachman Shaleh:2001:3).
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan, kenapa sistem manajemen pendidikan berbasis sekolah di Indonesia baik sekolah negeri maupun swasta merupakan suatu keharusan untuk diterapkan dalam penyelenggaraannya. Depdiknas (2001:5) menyebutkan-nya yaitu sekolah sebagai institusi pendidikan lebih mengetahui kelebihan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan institusinya.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan institusinya khususnya input pendidikan yang  akan dikembangkan dan didayakan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan institusi dan tingkat perkembangan anak didiknya.
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah sebagai institusi akan lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan institusi karena mereka yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi institusinya.
Keterlibatan komunitas sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat. Dan sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing–masing kepada orang tua, persyarikatan dan pemerintah, sehingga mereka mencurahkan kemampuannya semaksimal mungkin bekerja untuk mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan dan disepakati sebelumnya.
Sekolah cepat tanggap dalam merespon aspirasi stakeholder dan lingkungan yang senantiasa berubah, serta dapat bersaing dengan ketat dan sehat dengan sekolah–sekolah lain untuk meningkatkn mutu pendidikan melalui upaya–upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, persyarikatan, dan pemerintah daerah setempat.
Konsep Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah didefinisikan beragam oleh para ahli pendidikan. Surakhmad (2000:4) mengatakan pendidikan yang berbasis masyarakat adalah usaha untuk menumbuhkan pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar di masyarakat, berasal dari inisiatif masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan untuk kepentingan masyarakat.
Malen, Ogawa, dan Kranz dalam Albers Mohrman (1994:56) menyebutkan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah sebagai suatu bentuk desentralisasi yang memandang sekolah sebagai suatu unit dasar pengembangan dan bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan.
Selanjutnya, Allan Dornself (1996:2) menggunakan istilah site–Based Management sebagai padanan istilah School Based Management. Menurutnya, manajemen berbasis sekolah adalah sejumlah praktisi disebuah lembaga sekolah, mereka terlibat dalam partisipasi dalam membuat berbagai kebijakan dan keputusan untuk kepentingan lembaga tersebut.
Slamet PH (2000:4) mengemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah sebagai pengkordinasian dan penyelerasan sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok stakeholder dalam pengambilan keputusan yang partisipatif. Kelompok stakeholder meliputi kepala sekolah dan wakil–wakilnya guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orang tua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintah dan  wakil organisasi pendidikan.
Sementara itu, Suharsimi Arikunto (1999:51) menyatakan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah penataan sistem pendidikan yang memberikan keleluasaan penuh kepada kepala sekola (dan atas kesepakatan seluruh stafnya) untuk memanfaatkan sumber belajar dan semua fasilitas yang tersedia untuk menyelenggarakan pendidikan bagi siswa, serta bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya itu. Lanjutnya, dalam manajemen berbasis sekolah, wilayah sekolah bukan hanya terbatas sampai pagar sekolah dengan anggota keluarga yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa dan staf administrasi saja, tetapi meluas sampai lingkungan masyarakat setempat. Anggota organisasi sekolah tidak pula terbatas pada warga masyarakat lokal tetapi siapa saja yang mempunyai kepedulian terhadap urusan sekolah meskipun berdomisili sangat jauh dari sekolah.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat dipahami mengenai esensi dari manajemen berbasis sekolah. Esensinya adalah (a) adanya otonomi sekolah yang lebih besar dalam mengelola dimensi–dimensi pendidikan di sekolah dan (b) mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Sedang manajemen pendidikan berbasis sekola yang sedang dikembangkan di Indonesia lebih menekankan pada pemberian kewenangan, kepercayaan, dan kemandirian kepada sekolah untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekola masing–masing serta  mempertanggung jawabkan hasilnya kepada orang tua siswa, masyarakat, pemerintah dalam koridor kebijakan pendidikan nasional.
Dengan demikian, target utama Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di Indonesia adalah pemberdayaan sekolah untuk secara mandiri dapat meninngkatkan mutu pendidikan masing–masing. Oleh karena itu, kemampuan kepemimpinan dan manajemen dari kepala sekolah dan ketersediaan sumber daya yang memadai merupakan persyaratan bagi keberhasilan pelaksanaan MPMBS ini.

2.  Model Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (MPMBS).
Selaras dengan reformasi pendidikan maka model Manajemen Berbasis Sekolah (School–Based Management) menjadi pilihan untuk mengembangkan sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang telah lama diberlakukan di Indonesia. Sekolah–sekolah dan pondok pesantren yang  dikelola oleh persyarikatan Muhammadiyah, Al Jamiatul Washliyah, Nahdhatul Ulama, dan lain–lain. Manajemen model ini diberlakukan tidak hanya di Indonesia tetapi di banyak negara maju. Di Amerika, menurut Mohramn (1994:218), Manajemen Berbasis Sekolah mulai dilaksanakan di banyak sekolah negeri pada akhir tahun 1980-an.
 Secara esensi Manajemen Berbasis Sekolah yang mengakomodasi dua tuntutan. Pertama, tuntutan peningkatan mutu sekolah yang  mengacu pada model Manajemen Kualitas Total (Total Quality Management). Kedua, tuntutan desentralisasi pendidikan               (Soetarto,2001).
Edwart Sallis (1993:24) menjelaskan bahwa sebuah layanan dapat dikatakan bermutu apabila memang dapat memuaskan semua pelanggan, yaitu memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Oleh Sallis (1993:31), pelanggan dalam dunia pendidikan lebih tepat jika disebut dengan istilah “Klien“, karena sebutan seperti itu mengandung konotasi adanya hubungan profesional antara pihak yang memberi layanan dengan pihak yang dilayani.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia, karena dibutuhkan untuk berlang-sungnya proses pendidikan, yakni berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan–harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses pendidikan.
Input sumber daya pendidikan meliputi sumber daya manusia yaitu kepala sekolah, guru, karyawan pendidik dan sumber daya lainnya yaitu peralatan, perlengkapan, uang dan sebagainya.
Input perangkat pendidikan terdiri atas struktur organisasi sekolah, peraturan perundang–undangan, kurikulum, deskripsi tugas, rencana, program dan sebagainya. Input harapan–harapan berupa visi, misi, tujuan dan saran–saran yang ingin dicapai oleh sekolah.
Proses pendidikan merupakan perubahan sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses, disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro atau tingkat sekolah, yang dimaksud dengan proses adalah pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses–proses yang lain.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah yaitu guru, kurikulum, dana, peralatan dan sebagainya dilaksanakan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang nikmat (enjoy–learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, serta benar–benar mampu member-dayakan peserta didik. Memberdayakan mengandung arti peserta didik tidak sekedar mengetahui pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan murni peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari–hari, dan yang lebih pentingg lagi peserta didik tersebut mampu mengembangkan diri di lingkungannya. Sehingga menjadi insan yang bertakwa ilahiah, berilmu amaliah, beramal ilmiah, dan berteknologi basyariah.
Output pendidikan merupakan kinerja tertinggi. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses atau perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur keasliannya, efiktifitasnya, produktifitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan kalau output sekolah berkualitas atau bermutu. Jika prestasi sekolah, khususnya prestasi peserta didik. Menunjukkan prestasi yang tinggi dalam hal berikut: (1) Hasil tes kemampuan akademik, berupa nilai ulangan umum, NEM EBTA dan EBTANAS, Karya Ilmiah Remaja, temuan teknologi tepat guna sederhana dn sebagainya. (2) prestasi non akademik, seperti prestasi olahraga, kesenian, keterampilan, mengarang dan sebagainya.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan terkait dengan sekolah atau                        stakeholders“ secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Dari pengertian ini terlihat bahwa sekolah memiliki kewenangan lebih besar dari sebelumnya untuk mengelola sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif merupakan esensi MPMBS (Depdiknas,2001:3).
Depdiknas (2001:3) mengemukakan pula manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program–program yang tertentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab akan peningkatan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik peningkatan otonomi sekolah mampu pengambilan keputusan partisipatif tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan nasional yang berlaku.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pengambilan keputusan pendidikan, yang bukan hanya bersifat makro saja tetapi jauh kepada hal–hal yang bersifat mikro. Sementara sekolah cenderung hanya melaksa-nakan kebijakan–kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah dan harapan orang tua.
Pengalaman menunjukkan bahwa sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepala sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari sifat rasional normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan pada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat mengapresiasikan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.

3.  Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan lembaga pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dengan teori “effective school” yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Depdiknas,2001:11).
Jika Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah merupakan wadah, sedang sekolah efektif adalah isinya. Oleh karena itu, karakter Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah berikut memuat secara inklusif elemen–elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Berikutnya akan diuraikan dimulai dari output, proses dan diakhiri dengan input, karena model manajemen berbasis sekolah pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berpikir sistem). Mengingat output memiliki kepentingan yang lebih tinggi, proses memiliki kepentingan setangga dibawahnya dan input memiliki kepentingan dua tangga di bawah output.

a.  Output yang diharapkan
Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses sekolah. Kinerja sekolah diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produk-tivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kinerjanya, dan moral kerjanya (Slamet PH,2000:11).
Dalam dunia pendidikan pada umumnya, output diklasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik dan output berupa prestasi non akademik (Depdiknas,2001:12).
Output prestasi akademik umpamanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (bahasa Inggris, Matematika, Fisika). Output prestasi non akademik umpamanya, memiliki kepribadian (aklaq) yang mulia (seperti: keingin tahuan yang tinggi, amanah, kejujuran, kerjasama yang baik, kedisi-plinan, kerajinan, rasa kasih saya yang tinggi terhadap sesama, dan seterusnya), prestasi olah raga, kesenian, kepramukaan dan lain–lain.

b.  Proses yang diharapkan
Ada beberapa karakteristik proses pada sekolah yang menerapkan MPMBS (Depdiknas,2001:12– 18) sebagai berikut :
a)  Effektivitas proses belajar mengajar tinggi berupa pemberdayaan peserta didik maupun belajar cara belajar (learning to learn).
b)  Kepemimpinan sekolah yang kuat dalam mengkoor-dinasikan, menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
c)  Pengelolaan yang efektif tenaga kependidikan terutama guru yang selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan bik.
d)  Sekolah memiliki budaya mutu yang mempunyai elemen–elemen sebagai berikut: 1) Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengontrol SDM; 2) Kewenangan harus sebatas tanggung jawab; 3) hasil harus diikuti rewards dan punishment; 4) kolaborasi, sinergi bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerja sama; 5) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; 6) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; 7) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
e)  Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.
f)  Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian).
g)  Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
h)  Sekolah memiliki keterbukaan (tranparansi) manajemen dan pengelolaan sekolah.
i)  Sekolah memiliki kemampuan untuk berubah untuk peningkatan mutu peserta didik.
j)  Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik dan memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah.
k)  Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan dan berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu.
l)  Sekolah memiliki akuntabilitas (bentuk pertanggung jawaban) yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
m)  Sekolah memiliki sustainabilitas yang tinggi karena di sekolah tersebut terjadi proses skumulasi peningkatan mutu sumber daya manusia, diversifikasi sumber dana, pemilikan aset sekolah yang mampu menggerakkan income generating activities dan dukungan yang tinggi dari masyarakat terhadap eksistensi sekolah.

c.  Input pendidikan yang diharapkan
Menurut Depdiknas (2001:18–20) ada beberapa input pendidikan yang diharapkan yaitu :
a)  Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
b)  Sumber daya tersedia dan siap, baik sumber daya manusia maupun sumber daya selebihnya.
c)  Memiliki harapan prestasi yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya.
d)  Fokus pada pelanggan (khususnya peserta didik) sebagai tujuan utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.
e)  Input manajemen untuk menjalankan roda sekola. Input manajemen yang dimaksudkan adalah tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, aturan main yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolah untuk berbuat, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk menyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

4.  Fungsi–fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah
Ada beberapa aspek fungsi–fungsi yang perlu didesentralisasikan ke sekolah dalam MPMBS yaitu meliputi perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengelolaan kurikulum, pengelolaan proses belajar mengajar, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dan masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah (Depdiknas,2001:21).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar