kepemimpinan
karismatik selama ini selalu identik dengan pengamatan pemimpin di politik dan
keagamaan bukan kepemimpinan organisasi dan perusahaan. Karisma berasal
dari bahasa yunani diartikan karunia diispirasi ilahi (divenely inspired
gift) seperti kemampuan meramal dimasa yang akan datang.
Para ahli sepakat mengartikan karisma sebagai "suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " (Yukl, 1994:269)
Beberapa teori karismatik
Ada teori atribusi yang menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi bahwa karisma adalah sebuah fenomena atribusi (Conger & Kanungo, 1987) dan ada juga teori konsep sendiri yang menyangku karismatik seorang pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut, keterlibatan emosi dan motivasi yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar biasa (Shamir, house, Arthur, 1993) selain konsep teori tinjauan psiko-analisa karisma seorang pemimpin diberlakukan sangat tidak realistis dan tingkat identifikasi ekstrim oleh para pengikut baik melalui pemindahan karisma masa lalu seperti karisma trah Ir. Sukarno yang melegendaris ada pada mantan presiden Megawati yang mengarah pada kultus dengan berbagai konsekuensi negatif. konsekuensi karismatik negatif (Conger, 1990) dapat dilihat dari pola hubungan antara lain :
- Hubungan antar pribadi yang jelek tidak sesuai dengan pendahulunya
- Konsekuensi negatif dari prilaku impulsif dan tidak konvensional
- Konsekuensi negatif dari manajemen kesan bahwa dirnya sangat dibutuhkan pengikut atau karena sekedar mendompleng nama pendahulunya
- Praktik administrasi lemah, karismatik dalam memimpin tapi sangat lemah dalam penataan aktiftas yang membutuhkan dukungan administratif
- Konsekuensi negatif
dari dari rasa percaya diri yang lemah karena berbeda kapasitas dan
kredibilitas dan dirinya memuja dirinya berlebihan (Narcisis).
Kepemimpinan dalam organisasi, Garry Yukl, terj. Jusuf udaya, Prehalindo,
Definisi kepemimpinan
Sehubungan dengan kepemimpinan Bennis (1959:259) menyimpulkan : "selalu tanpaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan dan kompleksitasnya. dengn demikian kita mendptkan sutu proliferasi dari istlah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi... dan konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan".
Garry Yukl (1994:2) menyimpulkan definisi yang mewakili tentang kepemimpinan antara lain sebagai berikut :
Sehubungan dengan kepemimpinan Bennis (1959:259) menyimpulkan : "selalu tanpaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan dan kompleksitasnya. dengn demikian kita mendptkan sutu proliferasi dari istlah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi... dan konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan".
Garry Yukl (1994:2) menyimpulkan definisi yang mewakili tentang kepemimpinan antara lain sebagai berikut :
- Kepemimpinan adalah prilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas-aktifitas suatu kelompok kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (share goal) (Hemhill& Coons, 1957:7)
- Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961:24)
- kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974:411)
- kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi (Katz & Kahn, 1978:528)
- kepeimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984:46)
Perkembangan Paradigma Kepemimpinan :Gaya, Tipologi, Model dan Teori Kepemimpinan
Jenis, gaya,
dan ciri yang menandai perkembangan kepemimpinan masa lalu dapat dilihat dari
pengetahuan atau pun teori kepemimpinan yang berkembang dalam kurun waktu
tersebut. Abad 20 baru saja berlalu. Kita dapat mencatat sejarah kemanusiaan
yang penuh dinamika perubahan di abad itu; termasuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tak terkecuali perkembangan pengetahuan tentang
paradigma kepemimpinan yang dapat meliputi gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan,
model-model kepemimpinan, dan teori-teori kepemimpinan. Sekalipun secara
konseptual pada ketiganya terdapat perbedaan, namun sebagai telaan mengenai
substansi yang sama akan terdapat korelasi bahkan interdependensi antar
ketiganya.
- Gaya KepemimpinanGaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini.
Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and
nor made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya
bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan
bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan
karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul
sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini
tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis.
Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Teori Ekologis. Kedua
teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai
reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang
disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan
berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat
kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang
teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori
ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat
dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian,
penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan
secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang
baik.
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang
yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja
maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap
pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis,
manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok
orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap
saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna
mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat
strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para
pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih
bawahan dengan secermat mungkin.
- Tipologi KepemimpinanDalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997).
Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang
memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai
pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran
dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan
pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan yang mengandung unsur paksaan
dan bersifat menghukum.
Tipe Militeristis.
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin
tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat berikut : Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih
sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada
pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut
disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari
bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. .
Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan
sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya
diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan
karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar,
meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka
menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab
musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik,
maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan
kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil
tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang
yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F
Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih
muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil,
Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
Tipe Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang
demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena
tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut : dalam proses
penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu
adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan
kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada
bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya;
selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai
tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk
berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat
kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan
berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe
demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah
yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi
seorang pemimpin yang demokratis.
- Model Kepemimpinan.
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang
mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan
keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model
yang menganut pendekatan ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam
Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya
melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang
disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi
ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis,
pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang
berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin,
karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta
memegang tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman
dan hukuman. Selain bersifat negatif, gaya
kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat,
dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan
keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis
ini adalah pada tugas.
Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini memperoleh
sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika
bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya
berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di
mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari
bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.
Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu
pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki
kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan
Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) mengelompokkannya menjadi tujuh
kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak
melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan mengikuti suatu
garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan
sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan. (Lihat Gambar 1).
Model Kepemimpinan Ohio. Dalam penelitiannya, Universitas Ohio
melahirkan teori dua faktor tentang gaya
kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi (Hersey
dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku pemimpin dalam
menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok kerja dalam upaya
membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang
ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada perilaku yang menunjukkan
persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat dan kehangatan dalam
hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan). Adapun contoh dari
faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk menyimak anggota
kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin bersikap bersahabat
dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur inisiasi misalnya
pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok, pemimpin meminta
anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar, dan pemimpin
memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari mereka. Kedua
faktor dalam model kepemimpinan Ohio
tersebut dalam implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model
kepemimpinan yang tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model
kepemimpinan yang tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan
(d) model kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur
inisiasinya. (Lihat Gambar 2)
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam Stoner (1978)
menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat
sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan
partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang
disajikan pada bagian berikut ini.
Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini,
pimpinan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan
memerintahkan semua bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga
menentukan standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam
menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman.
Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah
saling curiga satu dengan lainnya.
Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan
dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan
dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan.
Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan
hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem
inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
Dengan demikian, model kepemimpinan yang disampaikan oleh
Likert ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari model-model yang
dikembangkan oleh Universitasi Ohio,
yaitu dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.
Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder.
Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang
paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin
bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang
cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak.
Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para
anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang
ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan
dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Model Kepemimpinan Tiga Dimensi. Model kepemimpinan
ini dikembangkan oleh Redin. Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan
pengembangan dari model yang dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan
utama dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga
dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi
perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap sama.
Intisari dari model ini terletak pada pemikiran bahwa
kepemimpinan dengan kombinasi perilaku hubungan dan perilaku tugas dapat saja
sama, namun hal tersebut tidak menjamin memiliki efektivitas yang sama pula.
Hal ini terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan yang terjadi dan dihadapi
oleh sosok pemimpin dengan kombinasi perilaku hubungan dan tugas yang sama
tersebut memiliki perbedaan. Secara umum, dimensi efektivitas lingkungan
terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi lingkungan yang tidak efektif dan
efektif. Masing-masing bagian dimensi lingkungan ini memiliki skala yang sama 1
sampai dengan 4, dimana untuk lingkungan tidak efektif skalanya bertanda
negatif dan untuk lingkungan yang efektif skalanya bertanda positif. (Lihat Gambar
5).
- Teori Kepemimpinan.
Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi
kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory).
Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu,
demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu.
Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam
diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai
suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah
manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala
sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para
pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya
dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang
hendak dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan
arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran
keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan
tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung
berjalan tanpa arah.
Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup
dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia
penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia
datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang tampil kedepan.
Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan ahli
organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh
karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab
kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga
bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk
didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial
kemasyarakatan atau akuntabilitas publik.
Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori
kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat
dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian
tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun
bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori banyak
membantu dalam mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah penelitian. Dari
penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinn banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879)
tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan
kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan
individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam
inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh
individu yang benar-benar superior.
Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan
pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi
sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu ; (1)
kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan
(2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil
kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking
& Boggardus, 1994).
Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori
Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan
tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya
kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus
juga termasuk ; (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan
(2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan,
untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan
motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat
sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) penampilan
peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan
dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994).
Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat
dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional".
Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada,
tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan
kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas,
adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran
kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi,
dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi
sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan
dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka
aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas,
dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi.
Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori
Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar
anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi.
Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan
penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti
kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota
lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan
harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang
terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian,
nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan
harapan akan pujian atau hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970
mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi
menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang
bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan
meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada
tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif.
Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang
ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja
cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi
kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemim-pinan makin tinggi.
Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori Humanistik
dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas
McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia
merupakan "motivated organism". Organisasi memiliki struktur
dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi
organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam
memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok.
Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel
pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani
anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi
yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota
disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang
akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan
dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea
bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap
orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain
(Blanchard & Zigarmi, 2001).
Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori
Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh
seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari
yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas
yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah
seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang
pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada
bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai
hasil dari suatu proses belajar.
Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan,
dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun
praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua
pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di
bidang politik yang bernama James McGregor Burns (1978) dalam bukunya
yang berjudul “Leadership”. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan
mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan
secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pengukurannya.
3. Kompetensi Kepemimpinan
Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan
pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas,
fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep
mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang
didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak
pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan
organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. Secara historis perkembangan
kompetensi dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu
ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan
kawan-kawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993).
Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge
or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell
menuliskan bahwa competencies area internal capabilities that people brings
to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even
infinite array of on the job behaviour. Spencer (1993) berpendapat,
kompetensi adalah “… an undderlying characteristicof an individual that is
causally related to criterion referenced effective and/or superior performance
in ajob or situation”. Senada dengan itu Zwell (2000) berpendapat “Competencies
can be defined as the enduring traits and characteristics that determine
performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork,
innovation, and strategic thinking”.
Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi
merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang
bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari
Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu
berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill
( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review Asropi
(2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits
merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten
terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang
selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong,
atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan
seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai
tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self concept adalah sikap,
nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang
memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi
yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan
untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik.
Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya
yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action.
Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya
terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dalam pada itu, menurut Spencer (1993) dan Kazanas
(1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau
dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa : result
orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical
expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service
orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross cultural
sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building
organizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensi-kompetensi
tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan
hampir dalam semua posisi manajerial.
Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas
tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut : pimpinan
puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor).
Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation,
relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building
organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others,
developing others, dan felexibilty. Adapun kompetensi pada
tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result
(achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative,
empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building,
service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan
technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi
kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others,
empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building
organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty,
relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan
cross cultural sensitivity.
Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner 1995)
meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau
pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas
prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup
yang dihasilkan dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali
mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan
penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki
kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2)
memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat
bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5)
memotivasi bawahan.
Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para
bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat
jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan
teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash (1996) dalam hubungannya
dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas
kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8
sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan,
pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan
memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen
organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak
melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi
yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar
spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani.
Dalam pada itu, Warren Bennis (1991) juga
mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah “empowering the collective
effort of the organization toward meaningful goals” dengan indikator
keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and
competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan
Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu,
Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut,
“kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati
memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas”.
Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus (1985)
mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to
manage” dalam empat hal : attention (= vision), meaning (=
communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness
to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah
menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and
meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic
relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan
(d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects
success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32).
Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi
tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin
dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang
tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence.
Tokoh lainnya adalah Ken Shelton (ed, 1997)
mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., menurut hubungan pemimpin dan
pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia
menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace
memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain
itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang
sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah
“spiritual”. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati,
jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah
intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell
berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan mahluk
rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar